Beranda Mining Services Sektor Jasa Pertambangan Butuh Penguatan Jaminan Berusaha

Sektor Jasa Pertambangan Butuh Penguatan Jaminan Berusaha

Jakarta, TAMBANG – Asosiasi Usaha Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) meminta Pemerintah memperkuat jaminan berusaha untuk memastikan kelangsungan bisnis kontraktor tambang. Sebab, pemegang Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) memiliki kontribusi besar dalam menggerakkan roda perekonomian di Indonesia.

Direktur Eksekutif Aspindo, Bambang Tjahjono mengatakan, saat ini Pemerintah belum optimal memberikan sorotan kepada sektor usaha jasa melalui regulasi yang berlaku, baik dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 atau dalam revisinya, UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

Padahal, kata Bambang, kontraktor tambang berperan menyerap tenaga kerja, mendatangkan investasi, serta berkontribusi terhadap pendapatan negara melalui setoran pajak.

“Dalam UU hanya dibahas 4 pasal tentang usaha jasa. Ini menunjukkan kurangnya konsentrasi Pemerintah terhadap IUJP. Padahal investasi, tenaga kerja, kontribusi pajak, dan lain-lain mayoritas ada di IUJP, khususnya batu bara,” ungkap Bambang melalui keterangannya yang diterima awak media, Selasa (25/5).

Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada tahun 2020 sektor usaha jasa pertambangan menorehkan nilai investasi mencapai Rp 70,31 triliun, dengan besaran penerimaan negara sebesar Rp 4,48 triliun, dan penerimaan daerah sebesar Rp 3,42 triliun.

“Itu concern saya tentang UU, tetapi dukungan Kementerian ESDM beberapa tahun terakhir sudah menunjukkan perhatian lebih besar tentang pentingnya IUJP, walaupun dibatasi UU yang ada,” ulas Bambang.

Pada kesempatan terpisah, Presiden Direktur PT Universal Support, Nadarajah menjelaskan, kontraktor tambang memiliki andil membuka lapangan pekerjaan mulai dari bidang teknisi tambang, operator alat berat, manajemen, hingga buruh kasar untuk cuci dan masak.

Menurutnya, Pemerintah perlu memberikan jaminan berusaha kepada sektor usaha jasa, yakni dengan memperkuat perlindungan hukum melalui UU atau aturan turunannya.

“Hampir 95 persen tambang khususnya batu bara dikerjakan oleh kontraktor. Itu sebabnya investasi dan penyerapan tenaga kerja porsinya besar di usaha jasa. Pemerintah sudah semestinya lebih memberikan perhatian melalui regulasi yang berlaku,” ulasnya.

Untuk diketahui, Universal Support tercatat memiliki jumlah karyawan mencapai ribuan orang. Pemegang IUJP Penanaman Modal Asing ini, mengantongi kontrak joint operation dengan tambang batu bara di Sorolangun dan Batanghari, Jambi, serta di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Tahun lalu, operasi Universal Support di Batanghari terpaksa berhenti lantaran kontrakanya diputus sepihak oleh dua pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP), PT Bumi Bara Makmur Mandiri dan PT Kurnia Alam Investama. Dampaknya, sekitar 400 orang pekerja lokal menganggur.

“Kami ikut membangun infrastruktur desa dan memberdayakan masyarakat sebagai tenaga kerja. Namun saat operasi berhenti, perputaran ekonomi masyarakat tersendat,” beber Nadarajah.

Menanggapi kasus semacam ini, Humas Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Sony Heru mengungkapkan, pihaknya mengaku tidak bisa ikut campur menangani konflik pemutusan kerjasama antara pemilik tambang dengan kontraktor. Sebab, hal tersebut menyangkut urusan bisnis.

Fokus Pemerintah hanya memastikan aktivitas IUP berlangsung sesuai target dan rencana. Apabila ada kontraktor yang diputus kerjasamanya, maka bisa mencari kontraktor lain.

“Kontrak antara IUP dan IUJP itu bersifat business to business. Kalau ada masalah, aspeknya keperdataan. Kita tidak akan campur tangan. Concern Pemerintah adalah kegiatan usaha tetap jalan” ujar Sonny.

Sebagai informasi, ketiga perusahaan tersebut kini beradu di meja hijau. Universal Support menggugat atas tuduhan wanprestasi. Kontrak menggarap tambang yang semestinya berlaku hingga 2028, pada pertengahan 2020 diputus oleh Bumi Bara dan Kurnia Alam.

Pengadilan Negeri Jambi mengabulkan gugatan Universal Support pada akhir April lalu. Namun, Bumi Bara dan Kurnia Alam berupaya melawan dengan mengajukan banding.

Pakar Hukum Pertambangan Universitas Tarumanegara yang menjadi Saksi Ahli dalam persidangan tersebut, Ahmad Redi berpendapat, pemegang IUP pada prinsipnya dapat melakukan kegiatan usaha pertambangan secara sendiri, namun jika terikat perjanjian dengan pihak lain, maka hak melakukan operasi secara sendiri ternegasikan.

“Apabila pemegang IUP melakukan sendiri padahal dalam kontrak pelaksanaan kegiatan itu disepakati dengan pihak lain, jelas dapat dianggap perbuatan cidera janji,” tuturnya.