Jakarta, TAMBANG – Sebanyak 18 lembaga non-pemerintah yang tergabung dalam Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih, mendesak pemerintah untuk memberhentikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berada di Pulau Sumatera dengan total kapasitas 3,7 Gigawatt (GW). Sebagai gantinya, pemerintah diminta untuk segera mempercepat transisi ke energi terbarukan.
Menurut mereka, keberadaan PLTU telah menyengsarakan masyarakat sekitar, misalnya kampung tergusur, kehilangan mata pencaharian, penyakit, kehilangan tempat tinggal hingga konflik sosial menghiasi media massa. Cerita ini disempurnakan dengan tingginya intensitas konflik baik laten maupun manifest.
“Keberadaan PLTU batu bara Nagan Raya tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Yang diterima warga adalah kehancuran pondasi ekonomi rakyat,” ujar perwakilan Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH) Aceh, Zaidun Abdi dalam webinar bertema ‘Mengapa 3,7 Gigawatt PLTU batu bara di Sumatera Harus Dimatikan’, Rabu (23/11).
Menurut Zaidun, nelayan Pangkalan Susu di Sumatera Utara pun mengalami kemerosotan pendapatan hingga 70 persen sejak PLTU Pangkalan Susu beroperasi. Begitu pula nelayan di Sungai Siak, Riau dan Bengkulu juga kehilangan ikannya akibat eksploitasi batu bara.
Dosen Jurusan Kelautan Universitas Bengkulu, Dewi Purnama menegaskan bahwa berdasarkan hasil penelitian, populasi penyu betina di perairan menurun 20% akibat perubahan iklim. “Informasi ini cukup sebenarnya untuk memberikan kita informasi bahwa telah terjadi penurunan populasi biota laut akibat krisis iklim,” jelas Dewi.
Cerita kerusakan ekonomi tidak hanya pada sektor laut. Hasil pertanian pun ikut mengalami penurunan. Direktur Srikandi Lestari Sumatera Utara, Sumiati Surbakti menyatakan petani di sekitar PLTU Pangkalan Susu mengalami penurunan hasil pertanian lebih dari 50%, dari sebelumnya mendapatkan rata-rata 300 kg/rantai.
“Sekarang untuk mendapatkan setengahnya sangatlah sulit. Cerita serupa juga terjadi di Lahat Sumatera Selatan, petani yang biasanya mendapat lebih dari 100 karung padi per bidang, sekarang ini hanya mendapatkan tidak lebih dari 30 karung,” jelasnya.
Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2021 menyebutkan sekitar 828 juta orang menghadapi kelaparan yang kondisinya diperparah krisis iklim. Data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan 115 pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.
Sementara data yang diolah Kanopi Hijau Indonesia dari berbagai sumber menyebutkan 27.175 hektare daratan Pulau Sumatera hilang dalam kurun tiga tahun terakhir.
Ali Akbar, perwakilan Kanopi Hijau Indonesia mengatakan laporan Sumatera ini dilaksanakan menyikapi inisiasi negara untuk mempensiunkan dini PLTU batu bara di Indonesia. Pertemuan G20 yang baru saja dilaksanakan di Bali memberikan sedikit pengharapan akan adanya pengakhiran masa penggunaan batu bara di Indonesia.
“Kami ingin Sumatera bebas dari energi kotor batu bara. Cerita kesengsaraan rakyat yang telah dipaparkan tersebut cukup untuk menjadi dasar agar negara benar dalam mengambil keputusan. Rencana negara untuk berhenti menggunakan batu bara bara pada tahun 2060 itu sudah terlalu terlambat,” katanya.
Pembakaran fosil batu bara juga telah meracuni udara yang dihirup manusia dimana studi yang dipublikasikan Lancet, jurnal kedokteran internasional menyebutkan polusi udara mengakibatkan 6,7 juta kematian pada 2019.
Sedangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sedikitnya 7 juta orang mengalami kematian dini per tahun, termasuk sekitar 600.000 anak di bawah usia 15 tahun akibat dari polusi udara. Jumlah ini tanpa memperhitungkan jutaan yang menderita penyakit kronis terkait polusi udara.