Beranda CSR Sejak 1970 – 2003, Asing Tak Bisa Kelola SPBU di Indonesia

Sejak 1970 – 2003, Asing Tak Bisa Kelola SPBU di Indonesia

Repro Majalah TAMBANG edisi 94/April 2013

“AKU ingin Permina menjadi perusahaan minyak raksasa. Perusahaan yang mampu berdikari, mampu menopang perekonomian Indonesia. Permina bisa digunakan sebagai alat pertama dalam membangun ekonomi Indonesia. Seluruh perusahaan minyak asing yang ada di Indonesia ini, saya tekan harus bantu Permina. Selian bisa ngebor minyak sendir, membangun rafinerij-nya, juga mamou membangun jaringan distribusinya. Dari situ kemudian terbentuk pasar bangsa sendiri.”

 

Demikian sepenggal ucapan Presiden Soekarno kepada para petinggi republik, Chaerul Saleh, Achmadi, Djuanda Kartawidjaja, Ibnu Sutowo, dan Jenderal Abdul Haris Nasution.  Mereka diundang Soekarno ke Istana Negara pada tahun 1960, untuk berdiskusi tentang politik minyak bumi nasional.

 

Setelah sepuluh tahun berlalu, pesan Soekarno masih melekat dibatin Ibnu Sutowo, Direktur Utama Pertamina ketika itu. Pada 1970, Ibnu Sutowo mengeluarkan larangan jualan minyak eceran bagi asing di Indonesia.

 

Sebenarnya upaya penguasaan ritel BBM, sudah dimulai sejak Agresi I Belanda tahun 2947. Saat itu, wilayah Indonesia terpecah menjadi daerah kekuasaan Republik Indonesia dan Belanda.

 

Perpecahan itu, membuat terjadi pemisahan dalam penyediaan BBM. Cepu dan sekitarnya menjadi penyedia BBM  yang utama untuk Pulau Jawa. Dalam daerah yang dikuasai pasukan Indonesia, distribusi minyak dilakukan melalui kereta api, atau dengan cara pengangkutan beranting. Entah dengan sepeda atau pikulan.

 

Sebagian besar rakyat yang tidak dapat menikmati hasil minyak bumi, menggunakan minyak kelapa atau minyak jarak untuk penerangan lampu dan keperluan lainnya.

 

Selepas kepergian penjajah, di bawah bendera perusahaan milik negara, PT Pertamina (Persero), Ibnu Sutowo memerintahkan anak buahnya untuk mengambil alih seluruh Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), yang saat itu didominasi oleh tiga perusahaan besar asing, yaitu Royal Dutch Shell, British Petroleum dan Standart Vacuum  atau Stanvac.

 

Pada 1971 hingga 1986 dibawah nama Pertamina, berhasil menguasai seluruh SPBU yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Pada saat itu, tidak banyak SPBU yang ada di Indonesia. Kebanyakan SPBU di wilayah-wilayah strategis untuk keperluan pengusuan bahan bakar kendaraan tempur milik tentara Belanda dan Jepang, yang kemudian diambil alih untuk kepentingan pendukung operasional Tentara Nasional Indonesia (TNI).

 

Selain berada di dekat kilang minyak, SPBU juga tersebar di beberapa titik pelabuhan guna mendukung operasional kapal perang maupun pengangkut barang. Jumlah mesin pompa bensin di masing-masing SPBU paling banyak hanya ada tiga, dengan merek mesin pompa bensin Tokhei buatan Belanda. Dilengkapi dengan alat pemadam kebakaran sebagai standar keamanan dan keselamatan operasional SPBU, bermerk Yamato asal Jepang.

 

SPBU peninggalan Belanda tersebut, kemudian dijadikan sebagai standar operasional pendirian SPBU oleh Ibnu Sutowo. Sementara untuk pengangkutan BBM  oleh Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) dengan memakai drum. Di darat dilakukan dengan kereta api, milik maskapai Staats Spoorwegen (SS) dan mobil-mobil tangka BBM. Akibatnya distribusi dan pelayanan BBM menjadi tidak merata.

 

Agar terjadi pendistribusian yang merata, Ibnu Sutowo  membuat standarisasi untuk mobil tangka pengangkut BBM. Ia menjadikan Hascar, merek asal Inggris, sebagai contoh sandar baku. Artinya, mobil tangka yang sama dengan merek Hascar, apapun merek mobil yang digunakan.

 

Meningkatknya kebutuhan BBM bagi masyarakat untuk aktivitas penunjang perdagangan, Ibnu Sutowo, membuat kebijakan  pengaturan harga penjualan BBM di SPBU. Hal ini dilakukan, agar pelaku usaha yang konsen berbisnis SPBU tidak berspekulasi terhadap harga jual BBM, dengan memberlakukan pembatasan margin keuntungan bagi pengelola pom bensin, berdasarkan rayonisasi atau wilayah.

 

Namun demikian, Ibnu Sutowo membebaskan pelaku usaha pengelola SPBU untuk memasarkan BBM dengan produk unggulannya. Agar dapat bersaing dengan SPBU lain yang berada di Indonesia. Sejak 1970 hingga 2003, ritel BBM di Indonesia masuk kategori negative list of investment. Pasca 2003, Indonesia membuka keran investasi untuk pelaku usaha asing mengelola SPBU di Indonesia.