Sidney, TAMBANG. DI sebuah kota kecil di bagian selatan Australia, warga berkumpul di sebuah restoran. Mereka menggelar acara perpisahan. Ini acara menyedihkan, yang diisi dengan cerita-cerita tentang kisah yang membanggakan tentang dunia tambang, yang sukses menghidupi kota itu, namun kini memiliki masa depan tak jelas.
Peristiwa itu terjadi pada 16 November lalu, hari terakhir beroperasinya tambang batu bara di kota Leigh Creek, setelah beroperasi lebih dari seabad.
Craig Franklin, 32 tahun, adalah ayah dua anak. Ia warga lokal yang menjadi generasi ketiga penambang. ‘’Saya merasa sangat sedih, tetapi harus bersiap untuk menuju kehidupan lain,’’ katanya kepada kantor penyiaran Australia, ABC News, dan dikutip koran The Straits Times, kemarin.
‘’Kami semua besar di sini, dan mencitai kota ini. Kami bertemu dengan orang-orang baik, dan akrab dengan para warga. Sangat menyedihkan, akhirnya tambang kami harus berhenti,’’ katanya.
Penutupan tambang batu bara Alinta Energy di Leigh Creek menandai episode terakhir sisi gelap industri tambang Australia.
Lebih dari seabad batu bara menjadi darah perekonomian Australia. Tapi masa depannya kini tengah dipertaruhkan. Perkembangan situasi batu bara yang menyuram berpengaruh bagi ekonomi Australia secara keseluruhan. Situasi yang terjadi di Australia ini juga terjadi di negara lain, termasuk Indonesia.
Sektor tambang batu bara di Australia memiliki 50.000 pegawai. Kedigdayaannya diluluhlantakkan oleh harga yang meloyo, melemahnya permintaan dari Cina, serta perkembangan dunia yang kini bergerak menjauhi pemakaian bahan bakar fosil.
Sejumlah tambang di Australia telah ditutup selama beberapa tahun terakhir. Proyek baru ditunda. Kalaupun beroperasi, skalanya dikecilkan. Ahli energi dari Universitas Newcastle, Australia, Dr. Gary Ellen, mengatakan masa depan jangka panjang pemakaian listrik berbahan bakar batu bara mengkhawatirkan.
Namun, perusahaan masih bisa selamat dengan melakukan diversifikasi usaha ke bidang lain, seperti produksi makanan, teknologi pengangkutan, atau melakukan inovasi baru seperti penangkapan dan penyimpanan karbon.
‘’Sulit untuk melihat masa depan cerah industri tambang batu bara di pasar global. Apalagi ada target kenaikan suhu global maksimum 2 derajat, tetapi diupayakan menuju ke 1,5 derajat,’’ kata Gary.
Tahun lalu, ekspor batu bara Australia mencapai Aus$ 40 miliar, sekitar Rp 400 triliun. Ini merupakan ekspor kedua terbesar, di belakang bijih besi. Tetapi penerimaan terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Pembeli utamanya adalah Cina, Jepang, Korea Selatan, dan India.
Kesepakatan Paris untuk membatasi kenaikan suhu global telah memicu debat di pemerintahan Australia: apakah Negeri Kanguru itu harus memangkas produksi batu baranya.
Dalam sebuah diskusi, bulan lalu, Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop mengatakan, Pemerintah Australia memandang bahan bakar fosil sebagai sesuatu yang kritis dalam produksi energi jangka panjang. ‘’Terobosan teknologi dan inovasi akan mengarahkan kita untuk mempercepat pemakaian bahan bakar berkarbon rendah,’’ katanya. ‘’Artinya, saat ini, pemakaian batu bara masih bisa,’’ katanya.
Itu saat ini. Tapi, melihat harga batu bara yang terus memburuk, tanpa aksi pemerintah, tambang pun satu demi satu memilih tak beroperasi, seperti di Leigh Creek itu.
Sumber foto: abc.net.au