Jakarta – TAMBANG. Meskipun tahun ini kinerja ekspor RI cenderung mengalami pelemahan, Kementerian Perdagangan masih optimistis neraca dagang sektor non-migas masih akan surplus sekbesar US$ 11-12 miliar. Minyak sawit mentah (Crude Palm Oil / CPO) dan batu bara tetap akan menjadi andalan sumber surplus devisa tersebut, meskipun harga komoditas itu masih rendah.
“Walaupun harga komoditas banyak yang turun, bagaimanapun juga masih ada harapan bulan ini akan terjadi pergeseran. Karena, data-data di akhir tahun biasanya kan tersendat, jadi kami yakin target tetap bisa dicapai,” ujar Partogi Pangaribuan, Dirjen Perdagangan Luar Negeri, saat jumpa wartawan di Kementerian Perdagangan, Rabu (3/12).
Selama bulan Oktober 2014, ekspor non-migas dilaporkan menguat 1,8% dibanding bulan sebelumnya menjadi US$ 12,9 miliar. Angka tersebut menambah kumulatif surplus sektor non-migas sepanjang sepuluh bulan hingga mencapai US$ 9,1 miliar.
Ia meyakini surplus sektor non-migas bisa membantu mengejar target ekspor sebesar US$ 184,3 miliar. Itu artinya dalam waktu dua bulan sebelum tutup tahun ini, Indonesia harus bisa mengantongi US$ 36,4 miliar dari ekspor. Optimisme ini diakuinya ditopang performa ekspor CPO, dan komoditas pertambangan khususnya batu bara.
Menurut Partogi, hal ini terbukti dari semakin banyaknya jumlah eksportir terdaftar (ET) batu bara, setelah diberlakukannya aturan wajib tersebut. Pembebasan bea keluar (BK) saat harga tertekan seperti sekarang ini juga menjadi insentif tersendiri.
“Paling tidak, tidak adanya BK batu bara bisa mendorong ekspor, meski sektor pertambangan memang ada pelemahan harga. Namun, pasti ada kebutuhan pasokan untuk 2015, sehingga kemungkinan permintaan bakal naik,” jelasnya.
Sementara untuk CPO yang digadang sebagai penopang utama ekspor non-migas, Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, sendiri yang mengeluarkan pernyataan optimisme. Grafik ekspor CPO mengalami peningkatan tertinggi, yakni 29,7% dibanding bulan lalu, atau 36,9% dibanding tahun lalu. Ia pun berkeyakinan bahwa angka pengiriman CPO dari Indonesia masih akan bertumbuh.
“Hal ini dipicu oleh beberapa hal antara lain tarif BK CPO nol persen sejak Oktober 2014, serta peningkatan permintaan India dan Tiongkok. Peningkatan permintaan dari Tiongkok karena mengurangi impor minyak rapeseed,” pungkas Menteri Perdagangan itu.