Jakarta-TAMBANG. Belum selesainya revisi UU Migas oleh DPR hingga hari ini memaksa koalisi masyarakat sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia membuat revisi UU Migas versi mereka.
Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, publik dan stakeholder di sektor migas saat ini berharap pada DPR untuk segera membahas dan menuntaskan pembahasan revisi UU Migas.
“Moral hazard seperti korupsi, ketertutupan, tidak transparan, serta kebocoran. Di sisi lain, persoalan kelembagaan juga menjadi tantangan tersendiri dalam tata kelola sektor migas,” tutur Henri dalam keterangan persnya, Senin (15/12).
Namun, sayangnya pembahasan revisi undang-undang Migas yang pernah berlangsung di DPR tidak jelas nasibnya hingga saat ini. Padahal sudah sebelas tahun berlalu pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU-I/2003 yang membatalkan beberapa pasal dalam UU Nomor 21/2001 tentang migas dan Putusan MK No. 36/PUU-X/2012 yang membubarkan BP Migas harus segera ditindaklanjut.
“Kami mendesak revisi UU Migas harus dimasukan dan dituntaskan dalam Prolegnas 2015,” tegas Henri.
Henri menjelaskan, dalam draf versi masyarakat sipil ini, UU Migas menawarkan sejumlah poin utama perubahan. Pertama, perubahan model kelembagaan hulu migas yang memungkinkan adanya proses check and balance sekaligus menyesuaikan dengan mandat Putusan MK. Model kelembagaan ini menempatkan fungsi policy dan oversight pada pemerintah dan fungsi pengelolaan migas kepada BUMN.
“Diharapkan dengan model tersebut dapat terbentuk kelembagaan yang kuat, tidak tumpang tindih dari segi kewenangan, memperkuat posisi negara dalam pengelolaan migas, serta tidak menciptakan peluang rente yang tertutup, sehingga seluruh aspek penguasaan negara yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945 dapat terlaksana dengan nyata,” ujarnya.
Kedua, lanjut Henri, jaminan pemenuhan hak informasi, partisipasi, dan akses masyarakat atas industri di sepanjang rantai proses industri ekstraktif meliputi keterbukaan kontrak KKKS, penghitungan DBH, data lifting secara real time, data produksi minyak dan gas bumi, penjualan dan penerimaan minyak dan gas bumi milik negara, dokumen AMDAL, dan lain-lain.
“Mekanisme EITI (Extractive Industry Transparency Initiative) juga akan di-endorse dengan lebih kuat dalam revisi UU Migas ini,” ungkap Henri.
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menuturkan, poin masukan Ketiga dari masyarakat sipil lain adalah pembentukan Petroleum Fund, sebagai dana dari penerimaan minyak dan gas bumi yang disisihkan dan dikelola secara akuntabel untuk mendukung agenda pemerintah.
“Tujuannya untuk tiga hal, pengalihan energi fosil ke energi bersih terbarukan; pembangunan infrastruktur migas seperti kilang (refinery), jaringan distribusi gas bumi, terminal gas alam cair dll; kegiatan yang berkaitan dengan cadangan migas baru,” paparnya.
Keempat, pelibatan masyarakat dalam proses penentuan Wilayah Kerja. Adanya kewajiban untuk memperhatikan concern masyarakat sekitar tambang dalam pertimbangan untuk mengekstrak atau tidak mengekstrak cadangan migas, termasuk hak-hak masyarakat adat.
“Di samping itu, pemenuhan hak daerah dalam penyertaan modal (participating interest/PI) juga perlu dikelola dengan tata kelola BUMD dan strategi prmodalan yang kuat, jangan sampai hak PI daerah menjadi perburuan politik rente baru yang lebih menguntungkan pemodal dibanding masyarakat,” kata Maryati.
Hal terakhir adalah aspek Perencanaan. Menurut dia, berdasarkan pembahasan oleh masyarakat sipil pengelolaan migas harus dilakukan berdasarkan perencanaan migas yang terintegrasi dengan beberapa hal diantaranya kebijakan pemenuhan kebutuhan energi nasional sebagaimana dimandatkan UU Energi nomor 30/2007.
“Selain itu aspek perencanaan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam dan perencanaan tata ruang. Perencanaan migas ini harusnya juga menjadi bagian dari RPJM dan RPJP,” tukas Maryati.
Untuk diketahui, pembahasan revisi UU Migas alternatif versi masyarakat sipil ini telah dimulai sejak Februari 2014 lalu hingga sekarang. Metode yang digunakan dalam menyusunan draft adalah focus group discussion (FGD) dengan koalisi masyarakat sipil dan expert, serta interview untuk fokus isu yang mendalam.