DUA hari ini kita dibuat terkaget-kaget oleh berita soal calon kepala Polri. Komisaris Jenderal Budi Gunawan, yang diajukan sebagai calon tunggal oleh Presiden Joko Widodo, harus melewati jalanan terjal. Tiba-tiba saja kemarin siang Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkannya sebagai tersangka atas dugaan rekening tidak wajar.
Di depan anggota DPR yang mendatangi rumahnya, Budi Gunawan berusaha terlihat tenang. Bekas ajudan Megawati Soekarnoputri itu mengatakan akan mengikuti apapun keputusan Presiden terhadap pencalonannya. Ia menduga ada manuver tertentu yang berupaya menggagalkannya sebagai calon kepala Polri.
Presiden Joko Widodo, melalui Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan, Presiden akan menghargai pertimbangan KPK. Hingga tulisan ini saya buat, pada Rabu pagi 14 Januari 2015, kita belum mendengar langkah apa yang akan dibuat Presiden: apakah menarik kembali pencalonannya dan menggantinya dengan kandidat lain; tetap melanjutkan pencalonan Budi Gunawan; atau meneruskan jabatan Jenderal Sutarman hingga yang bersangkutan pensiun pada Oktober 2015 ini.
Masing-masing langkah ada risikonya. Bagi Presiden Jokowi, yang tampil menjadi presiden setelah mendapat sokongan utama dari PDI Perjuangan, tampilnya Budi Gunawan memang memberi keamanan. Ia dikenal dekat dengan Megawati. Juga dikenal akrab dengan para tokoh PDI Perjuangan. Ia termasuk diajak menyiapkan visi dan misi Presiden Jokowi di bidang pertahanan keamanan.
Masalah rekening gendut sebetulnya sesuatu yang sudah lama kita tengarai banyak terjadi di dunia birokrasi kita. Dengan kasat mata kita bisa melihat pegawai negeri yang gajinya di bawah Rp 10 juta sebulan, asetnya sampai bermiliar; rumahnya supermewah.
Kini sejumlah gubernur tengah dalam penyelidikan KPK karena memiliki rekening tak wajar. Mereka kebanyakan adalah gubernur yang di daerahnya terdapat kekayaan tambang berlimpah ruah. Contohnya Gubernur Sulawesi Tenggara, yang kini juga tengah diselidiki. Daerahnya dikenal memiliki kekayaan nikel cukup banyak. Sumatera Selatan, yang daerahnya banyak memiliki batu bara, juga tengah disorot.
Saya pernah bertemu dengan para pelaku usaha yang mengeluhkan banyaknya setoran yang harus dia bayarkan kepada pejabat pengurus tender. Tidak hanya di institusi sipil, melainkan juga di lembaga non-sipil. Jumlahnya tidak main-main, kadang kala lebih dari 20% dari nilai proyek Namun si pengusaha tak bisa mengelak, karena ia memang hanya hidup dari tender di institusi yang bersangkutan.
Hadirnya KPK secara perlahan-lahan menguak praktek culas itu. Kita melihat pengusaha ternama, Hartati Murdaya Poo ditangkap KPK, dan dipenjara, karena dituduh menyogok Bupati Bual, Amran Batalipu, sebanyak Rp 3 miliar untuk kemudahan pengurusan izin.
Mantan Bupati Bangkalan, Fuad Amin Imron, yang juga ketua DPRD Bangkalan, kini juga tengah ditahan KPK, karena diduga mendapat setoran dalam jumlah besar dar seorang pengusaha gas. Bupati Bogor, Bupati Krawang, Bupati Lombok Barat, dan banyak pejabat lain yang ditahan KPK karena mencoba bermain-main dengan perizinam.
Surat izin sejatinya hanya berisi beberapa lembar kertas. Tapi tanpa izin, seorang pengusaha tak bisa bergerak. Kekuatan birokrat adalah pada pemberian izin. Dan inilah yang dimain-mainkan oleh birokrat culas.
Di dunia tambang, kita dihadapkan pada izin yang berlimpah, sebelum kita bisa beroperasi: dari masyarakat, dari bupati, dari pelabuhan, yang semuanya membutuhkan keuletan dan, seringkali, ongkos yang jumlahnya melebihi ketentuan resmi. Ongkos di luar ketentuan inilah yang kemudian melahirkan adanya rekening gendut. Pemberian izin inilah yang dimainkan.
Kita di dunia pertambangan punya kewajiban moral agar berbagai jalan pintas untuk membeli perizinan menjadi praktek yang wajar. Inilah yang harus kita hindari.
Rekening gendut yang tak wajar, baik di dunia birokrasi maupun di dunia swasta, memang tak boleh terjadi.
Foto: Komisaris Jenderal Budi Gunawan
Sumber foto: rri.co.id