Jakarta,TAMBANG,- Indonesia masih menyimpan potensi sumber daya dan cadangan batu bara yang cukup banyak. Data Badan Geologi menyebutkan sumber daya batu bara Indonesia masih 99,19 miliar ton sementara cadangan masih sebesar 35,02 miliar ton. Dengan asumsi produksi per tahun mencapai 600 juta ton, umur cadangan batu bara nasional bisa mencapai 60 tahun. Oleh karenanya potensi yang demikian besar ini harus dimanfaatkan secara optimal.
Lana Saria, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Ditjen Minerba Kementerian ESDM, mengatakan Indonesia memiliki sumber daya dan cadangan batu bara yang besar. Dari sana negara ini juga punya potensi mengembangkan produk hilirisasi batu bara yang dapat mensubstitusi bahan bakar minyak maupun gas, serta bahan baku industri kimia.
“Pemerintah mendorong hilirisasi batu bara untuk dapat mensubstitusi bahan bakar dan bahan baku industri kimia, seperti methanol dan DME. Diproyeksi kebutuhan batu bara untuk hilirisasi semakin meningkat,” terang Lana dalam Sarasehan bertajuk “Peran Strategis Batu Bara dalam Transisi Energi” yang digelar Energy and Mining Editor Society (E2S), di Jakarta, Jumat, (15/12).
Selain Lana, sarasehan menampilkan pembicara Wakil Ketua Umum Indonesia Mining Association Ezra Leonard Sibarani; Senior Vice President Pengembangan Batu Bara PT PLN Energi Primer Indonesia Eko Yuniarto; Praktisi Teknologi Boedi Widatnodjo, dan Kepala Pusat Kebijakan Keenergian ITB Dr Ir Retno Gumilang Dewi.
Lana mengungkapkan, guna mengantisipasi ancaman global terhadap batu bara, maka pemanfaatan batu bara ke depan harus diimbangi dengan teknologi yang ramah lingkungan demi mengurangai emisi CO2. Hal ini bertujuan mendorong batu bara sebagai sumber energi yang lebih ramah lingkungan.
Peranan batu bara makin penting karena pemanfaatan energi terbarukan di masa transisi energi saat ini baru sekitar 2% dari potensi yang ada.
“Batu bara saat ini masih dominan 42,4%, diikuti BBM 31,4% dan gas serta NRE. Jadi masih menjadi sumber energi utama, karena potensi batu bara masih sangat besar dibanding sumber energi lainnya,” terang Lana.
Pada 2023, target produksi batu bara nasional mencapai 694,5 juta ton. Produksi tersebut ditujukan untuk DMO 176,8 juta ton dan ekspor 517,7 juta ton. “Untuk produksi sampai November mencapai 710,75 juta ton batu bara. Dengan asumsi produksi rata-rata per bulan 64,6 juta ton, hingga akhir tahun diproyeksi sebesar 775,17 juta ton atau 111% dari target tahun 2023,” terang Lana.
Sebagian besar cadangan batu bara Indonesia memiliki kalori sedang (5.100-6.100 kal/g) yakni 54% dan kalori rendah <5.100 kal/g) 34%.
Tidak hanya sebagai penopang sumber energi nasional, kontribusi batu bara bagi penerimaan negara juga cukup besar. Melalui royalti terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), kontribusi batu bara tercatat menjadi yang terbesar dibanding komoditas mineral dan batu bara lainnya, seperti emas dan tembaga.
“Hingga 11 Desember 2023, PNBP dari royalti batu bara mencapai Rp94,59 triliun melampaui target dalam PNBP 2023 sebesar Rp84,26 triliun,” kata Lana.
Sementara Ezra melihat batu bara sangat seksi dua tahun belakangan ini, harganya juga bagus. Dari total produksi 685 juta ton pada 2022, sekitar 30% ditujukan untuk domestik dan sisanya ekspor. “Kita ini memang salah satu eksportir terbesar, walaupun tidak memiliki reserve batu bara yang besar,” terang Ezra.
Merujuk pada data cadangan batu bara dari Kementerian ESDM, lanjut Ezra, jika produksi diasumsikan 700 juta ton per tahun, maka cadangan batu bara baru akan habis 47-50 tahun ke depan. Kalau dipakai sendiri untuk kebutuhan dalam negeri yag diproyeksi 200 jutaan per tahun dengan kalkulasi tren peningkatan EV, umur cadangan batu bara bisa sampai 150 tahun. “Jadi masih panjang dan kalau kita lihat 2060 NZE, berarti saat itu masih ada batu bara yang banyak.Nah ini mau diapakan,” kata Ezra.
Senior Vice President Pengembangan Batu Bara PT PLN Energi Primer Indonesia Eko Yuniarto, berharap ada RUPTL baru yang akan merevisi terkait target NZE. “RUPTL yang akan diluncurkan adalah tidak adanya pembangunan PLTU yang baru betul-betul meng-utilize PLTU yang ada secara ekonomis,” kata Eko.
Batubara dari source of energy primernya 67% berkontribusi terhadap kelistrikan di Indonesia. Selain itu, ada gas sebesar 30% dan sisanya adalah panas bumi, PLTA dan biomass. “Sampai 10 tahun ke depan masih di atas 60%. Secara umum sampai kuartal III masih didominasi 237 MW kurang lebih porsi batu bara masih 67 persen, lainnya 17 persen, panas bumi 12 persen. Dari sisi historical 2018-2022 masih 62 persen, jadi batubara terus tumbuh,” ungkap Eko.
Menurut Eko, masuknya PLTU Jawa 9, 10 akan terutilize, apalagi di tambah PLTU Batang. Porsi IPP PLTU akan lebih dominan. Realisasi DMO rerata 10 juta per bulan, 90 juta metrik ton sampai September, sampai akhir tahun prognosa 20 juta ton. “Kontribusi coal supply 4,2 juta ton oleh PKP2B, sisanya IUP OP BUMN, ada PMA dan PMDN,” kata Eko.
Retno mengatakan Indonesia sebagai negara berkembang sulit mencapai NZE pada 2050. Setelah negosiasi antar kementerian, akhir disepakati bahwa pada 2060 boleh disisakan 129 juta ton CO2. “Dari sektor energi dari 129 juta CO2, nampaknya Kementerian ESDM optimistis pada 2060 emisinya bisa nol,” kata dia.
Menurut Retno, PR dari keyakinan tersebut tidak murah. Harus investasi untuk menuju low carbon. Jangan sampai dekarbonisasi menjadi beban dan malah menurunkan laju perekonomian,” kata Retno.
Menurut Retno, kebutuhan energi harus ditargetkan. Jika dilihat dari jenis energi yang akan digunakan, lebih dari 30% beraral dari listrik. Batu bara masih ada di 2060, coal plus CCUS dan biomass cofiring yang akan menyebabkan negatif emission.
“CCS tujuannya bisa untuk diperdagangkan. Tren yang sekarang capture-nya akan lebih murah,” katanya.
Menurut Boedi, Indonesia mempunyai banyak pembangkit, mulai dari kapasitas yang kecil 10 MW, bahkan ada yang 3-5 MW dengan teknologi lama dan belum menggunakan penangkapan sulfur.
“Pembangkit-pembangkit berkapasitas 400 MW belum memakai teknologi penangkapan sulfur. Biasanya pembangkit-pembangkit berkapasitas 600-1000 MW sudah memakai teknologi baru,” katanya.
Menurut Boedi, saat ini rata-rata emisi sulfur sekitar 0,5-0,8 ekuivalen untuk PLTU berkapasitas 400 MW, sementara PLTU kecil berkapasitas di bawah 100 MW efisiensi thermal-nya sekitar 30.
“Kalau yang 400-600 MW sekitar 37-38 dan yang 1.000 MW bisa sampai 47. Semakin besar semakin efisien dan tingkat polusi semakin rendah,” ungkap Boedi.
Dia menambahkan emisi dari pembangkit lama dengan kapasitas 400 MW ke bawah yang perlu diatasi emisi-nya. Dan itu sebenarnya bisa diatas dengan penerapan teknologi yang tepat. Apalagi jika merujuk pada kasus di China sudah sampai 100, bahkan kandungan sulfurnya lebih rendah lagi. Bahkan di Amerika Serikat masih berada di angka 150. “Untuk mengontrol C02 ada beberapa cara. Saya sampaikan 3 cara, dari 4 cara yang sumber dan aturan bagus,”pungkas Boedi.