Jakarta, TAMBANG – Progres pembangunan smelter tembaga milik PT Freeport Indonesia (PTFI) sudah mencapai 51,7 persen pada akhir Desember 2022. Biaya yang sudah dikeluarkan perusahaan mencapai Rp 25 triliun.
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas mengatakan, smelter tersebut dijadwalkan rampung pada akhir 2023. Sedangkan masa commisioning dan operasi direncanakan pada Mei 2024, dan operasi secara komersial akan dilaksanakan pada Desember 2024.
Smelter yang terletak di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) itu, berkapasitas 1,7 juta ton per tahun. Sehingga jika digabung dengan anak usaha Freeport, yaitu PT Smelting Gresik yang secara bersamaan tengah melakukan ekspansi dengan kapasitas menjadi 1,3 juta ton per tahun, maka total kapasitas pengolahan konsentrat Freeport bakal mencapai 3 juta ton per tahun.
“Setelah beroperasi Mei 2024, akhir 2024 kita baru bisa tidak ekspor konsentrat. Semua hasil tambang, konsentratnya dimurnikan semua di dalam negeri. Smelter baru ini akan menjadi smelter tembaga design single line terbesar di dunia,” ujar Tony kepada tambang.co.id saat meninjau pembangunan proyek smelter tersebut, Jumat (13/01).
Dalam praktiknya, sambung Tony, smelter Freeport akan menghasilkan 3 produk utama. Pertama, katoda tembaga dengan kadar 99,99 persen Cu sebesar 550 ribu ton per tahun, yang akan disuplai untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Kedua, lumpur anoda berupa emas dan perak murni sebesar 6 ribu ton per tahun. Ketiga, produk samping berupa asam sulfat sebesar 1,5 juta ton per tahun dengan konsumen industri petrokimia di Gresik.
Kemudian, smelter tersebut juga akan menghasilkan terak tembaga sebesar 1,3 juta ton per tahun, dan gipsum sebesar 150 ribu ton per tahun untuk memenuhi kebutuhan industri semen.
Saat ini, Freeport baru menghasilkan 300 ribu ton katoda tembaga 99,99 persen per tahun melalui PT Smelting Gresik dengan teknologi Mitsubishi Continuous Process. Jika smelter baru itu mulai beroperasi, maka konsentrat Freeport telah diolah 100 persen di dalam negeri. Hal ini sesuai dengan misi perusahaan untuk membantu pemerintah dalam kebijakan hilirisasi di setiap komoditas pertambangan.