Jakarta, TAMBANG – Praktisi Hukum Pertambangan, Eva Djauhari buka suara soal Izin Usaha Pertambangan (IUP) Ormas Keagamaan yang diklaim tidak menabrak Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Menurut Eva, pemberian konsesi tambang kepada Ormas Keagamaan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara, berpotensi bertentangan dengan UU Minerba.
“Ketentuan baru pemerintah untuk menawarkan IUP secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan berpotensi bertentangan dengan UU Minerba sendiri serta menimbulkan kerancuan hukum,” ujar Eva kepada tambang.co.id, dikutip Selasa (11/06).
Kerancuan hukum yang dimaksud Eva adalah makna penawaran prioritas yang tidak dijelaskan secara tegas sehingga menimbulkan multi tafsir. Penawaran secara prioritas bisa saja diartikan mendapat IUP tanpa lelang atau tetap melalui mekanisme lelang, tapi diberikan hak right to match.
“Penawaran prioritas dapat ditafsirkan sebagai (pertama) mendapatkan IUP tanpa lelang; atau (kedua) tetap melalui mekanisme lelang namun diberikan hak prioritas seperti right to match, dan sebagainya,” ucap Eva yang pernah menjadi Tim Perumus Kebijakan Pertambangan Nasional.
Kata dia, dalam UU Minerba pemberian IUP secara prioritas hanya diberikan kepada BUMN atau BUMD. “Hal ini mengingat prioritas pemberian izin usaha pertambangan berdasarkan UU Minerba hanya diberikan kepada badan usaha milik negara atau daerah,” imbuh Praktisi Hukum Pertambangan dan Energi ini.
Pembagian IUP kepada ormas keagamaan ini secara spesifik tertuang dalam pasal 83A ayat 1. “Dalam rangka peningkatan kesejahteraan Masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan”.
Eva menilai, pasal tersebut berpotensi diskriminatif dan merupakan terjemahan yang sangat sempit dari Pasal 33 UUD 1945.
“Peningkatan kesejahteraan masyarakat”, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 83A PP 25/2024 seyogyanya tidak diartikan secara sempit dengan ‘membagi-bagikan’ IUP kepada ormas keagamaan,” jelasnya.
Penguasaan sumber daya alam oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945, kata Eva, memiliki makna jauh lebih luas dari itu. Penambangan sumber daya alam Indonesia harus dilaksanakan secara seksama oleh pihak yang berkapasitas dan berkompeten.
“Sehingga dapat memberikan manfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia, tidak terbatas pada ormas keagamaan,” bebernya.
Sebelumnya, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengklaim bahwa pembagian IUP untuk Ormas Keagamaan tidak bertentangan dengan UU Minerba. Menurut Bahlil, kebijakan ini justru sudah sesuai dengan UU tersebut yang tercantum dalam Pasal 6 Poin 1 Ayat j.
“Bahwa di dalam UU No 3 Tahun 2020, revisi terhadap UU No 4 tahun 2009 tentang Minerba, Pasal 6 Poin 1 Ayat j, bahwa pemerintah berhak untuk memberikan prioritas kepada IUPK-nya,” ucap Bahlil dalam Konferensi Pers di Gedung Kementerian Investasi/BKPM Jakarta, Jumat (7/6).
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) Pasal 6 Poin 1 Ayat j menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas.
“Dalam proses pembuatan PP (25/2024) ini sudah lewat mekanisme kajian akademis dan diskusi yang mendalam antar kementerian dan lembaga yang juga dibawa ke dalam ratas (rapat terbatas-red) yang dihadiri oleh menteri-menteri yang dipimpin Bapak Presiden,” ungkap Bahlil.