Jakarta, TAMBANG – PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) membukukan laba bersih sebesar Rp 7,35 triliun pada Semester pertama tahun ini. Laba tersebut mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 5,35 Triliun.
Direktur Keuangan PLN, Sarwono Sudarto mengungkapkan, capaian ini didukung oleh peningkatan nilai penjualan tenaga listrik PLN sebesar Rp 6,29 triliun atau 4,95 persen, sehingga menjadi Rp 133,45 triliun dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 127,16 triliun.
“Sampai saat ini, Pemerintah masih mempertahankan tarif listrik tidak naik guna menjaga daya beli masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional,” ungkap Sarwono dalam keterangan resmi, Selasa (24/9).
Namun demikian, Pemerintah sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 terus berkomitmen mendukung kesehatan keuangan PLN untuk menjalankan Penugasan Public Service Obligation (PSO) dan ekspansi untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK). Melalui mekanisme kompensasi untuk recovery biaya penyediaan tenaga listrik dengan margin yang wajar sehingga terdapat dana internal (internal fund) sebagai pendamping pinjaman investasi.
Lebih lanjut, Sarwono mengungkapkan, pertumbuhan penjualan ini berasal dari kenaikan volume penjualan menjadi sebesar 118,52 Terra Watt hour (TWh) atau naik 4,41 persen dibanding dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 113,52 TWh. Peningkatan konsumsi kWh juga didukung dari adanya kenaikan jumlah pelanggan dimana sampai dengan akhir Juni 2019 telah mencapai 73,62 juta atau bertambah 3,92 juta pelanggan dari akhir Juni 2018 sebesar 69,7 juta pelanggan.
“Bertambahnya jumlah pelanggan ini juga mendorong kenaikan rasio elektrifikasi nasional yaitu dari 98,3 persen pada akhir tahun 2018 menjadi 98,81 persen pada 30 Juni 2019,” lanjut Sarwono.
Seiring dengan meningkatnya penjualan maka volume produksi listrik juga naik yang menuntut kenaikan biaya usaha PLN. Sampai dengan Juni 2019 naik sebesar Rp 10,08 triliun atau 7,08 persen menjadi Rp 152,51 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 142,43 triliun.
Menurut Sarwono, komponen biaya usaha dengan kenaikan terbesar adalah beban pembelian dari listrik swasta yang mengalami kenaikan sebesar Rp 3,62 triliun dari Rp 37,8 triliun sampai dengan Juni 2018 menjadi Rp 41,4 triliun sampai dengan Juni 2019. Ini seiring dengan masuknya beberapa IPP baru untuk menyuplai daya ke PLN.
“Biaya bahan bakar masih mendominasi kontribusi biaya usaha yaitu 43 persen dari total biaya usaha, dimana biaya gas merupakan biaya bahan bakar terbesar meskipun output listriknya hanya berkontribusi 22 persen,” kata Sarwono.
PLN tetap mengoptimalkan pembangkit berbahan bakar batu bara untuk mendongkrak efisiensi sejalan dengan dukungan pemerintah terkait harga maksimal batu bara untuk sektor kelistrikan. Kontribusi produksi listrik dari pembangkit batu bara sebesar 61 persen dari total produksi listrik nasional. Efisiensi operasi secara signifikan juga dilakukan secara berkelanjutan dengan mengurangi konsumsi BBM untuk pembangkit PLN, dan menggantinya dengan Biofuel serta menambah pasokan listrik dari pembangkit lain yang berbiaya operasi lebih murah. Listrik dari pembangkit BBM (fuel mix) selama Semester I 2019 menurun signifikan menjadi 4,3 persen, lebih rendah dibanding akhir tahun 2018 sebesar 6 persen. Hal ini jauh lebih rendah dibanding akhir tahun 2014 sebesar 12 persen.
Selama 6 bulan pertama di tahun 2019 ini, PLN berhasil menambah kapasitas pembangkit sebesar 872,44 MW sehingga total kapasitas terpasang pembangkit di Indonesia menjadi 58.519 MW. PLN juga berhasil menambah jaringan transmisi 2.847 kilometer sirkuit (kms) menjadi 56.453 kms, dan menambah Gardu Induk sebesar 6.557 MVA menjadi 137.721 MVA. Hal ini untuk mendukung peningkatan penjualan PLN.
Penambahan kapasitas juga dilakukan disisi Energi Baru Terbarukan (EBT), dimana pada semester 1 tahun 2019, PLN berhasil menambah 135 MW yang berasal dari EBT. Dengan penambahan ini maka total kapasitas pembangkit dari EBT yakni sebesar 7.266 MW.
Selain itu, membaiknya laba PLN juga disebabkan menguatnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing khususnya USD dan EUR. Sebagian besar pinjaman jangka panjang yang diperoleh PLN untuk pendanaan investasi terutama Program 35 GW dalam bentuk USD.
“Penguatan nilai tukar rupiah tersebut tentunya berdampak positif bagi hasil usaha PLN, yang mana PLN membukukan Keuntungan Selisih Kurs pada Juni 2019 sebesar Rp 5,04 Triliun,” ungkap Sarwono.