Jakarta – TAMBANG. PT PLN (Persero) telah menerbitkan laporan keuangan Semester I tahun 2015, Rabu (29/7). Dalam laporan yang belum diaudit tersebut, PLN mencantumkan pendapatan sebesar Rp101,3 triliun. Jumlah tersebut naik bila dibandingkan pendapatan periode yang sama 2014 lalu.
Tahun 2014 lalu, PLN hanya bisa membukukan pendapatan sebesar Rp85,7 triliun selama 6 bulan pertama. Kenaikan yang dialami tahun ini disebabkan adanya kenaikan volume penjualan listrik dan kenaikan harga jual rata-rata.
“Pertumbuhan pendapatan ini berasal dari kenaikan volume penjualan kWh menjadi sebesar 99,4 Terra Watt hour (TWh) atau naik 1,8% dibanding dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 97,6 TWh. Serta ada kenaikan harga jual rata-rata dari sebesar Rp 878,44/KWh menjadi Rp1.018,87/KWh, ujar Adi Supriono, Sekretaris Perusahaan PT PLN (Persero), Rabu (29/7).
Ia pun menyebutkan adanya peningkatan jumlah pelanggan yang dilayani PLN, sehingga pada Juni 2015 sudah mencapai 59,5 juta pelanggan.
“Bertambahnya jumlah pelanggan ini juga mendorong kenaikan rasio elektrifikasi nasional, yaitu dari 80,1% pada Juni 2014 menjadi 84,0% pada Juni 2015,” imbuhnya.
Sementara untuk subsidi listrik, pada Semester I 2015 dilaporkan hanya sebesar Rp27,4 triliun. Dengan demikian terjadi penurunan sangat signifikan dibanding periode yang sama tahu lalu, yang mencapai Rp57,7 triliun.
“Penurunan tersebut sejalan dengan efisiensi biaya penyediaan tenaga listrik yang terus dijalankan oleh perusahaan, serta adanya kenaikan tarif tenaga listrik pada beberapa golongan tarif,” ia menegaskan.
Dengan volume penjualan dan pendapatan usaha yang meningkat, PLN justru bisa menekan beban usaha perusahaan. Efisiensi tersebut tercatat mencapai Rp10,4 triliun atau 8,8%. Bila di periode yang sama tahun lalu PLN harus mengeluarkan Rp118,2 triliun, tahun ini beban yang dibayarkan hanya Rp107,8 triliun.
“Penurunan ini terjadi karena program efisiensi yang terus dilakukan perusahaan antara lain melalui substitusi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan penggunaan batubara atau energi primer lain yang lebih murah, serta turunnya harga komoditas energi primer,” Adi memaparkan.
Penghematan BBM memiliki kontribusi terbesar, yang mampu menghemat 50,5% biaya, dari Rp37,9 triliun menjadi Rp18,8 trilliun. Padahal, selisih kenaikan ongkos dari penggunaan batu bara dan gas hanya mengalami kenaikan sebesar Rp2,6 triliun.
“Perseroan terus melakukan efisiensi dan pengendalian terhadap pengeluaran untuk beban usaha, terutama dengan mengalihkan biaya energi primer dari BBM ke Non-BBM,” pungkasnya.