JAKARTA, TAMBANG. SEPEREMPAT perusahaan tambang nikel di dunia menjual produknya ke konsumen industri baja dengan harga merugi. Dengan cara itu, mereka berharap, perusahaan nikel lain tutup dan perannya menjadi penting.
Kesimpulan itu didapat dari hasil riset lembaga riset terkemuka dari Colorado, Amerika Serikat, IHS, dan dimuat di media The Australian Business Review, hari ini.
Harga nikel ambruk 30% tahun lalu. Kinerjanya terjelek dibanding logam lain yang diperdagangkan di Bursa Logam London, seiring dengan melemahnya permintaan. Cadangan di gudang penyimpanan meningkat hingga lima kali lipat sejak 2011. Lembaga investasi internasional, Goldman Sachs, dalam laporannya pada 8 Februari lalu menyatakan, terdapat surplus 90.000 ton nikel pada 2016.
‘’Hanya sedikit industri yang bisa menampungnya. Kami belum melihat reaksi yang memadai dari pihak pemasok,’’ kata Jason Kaplan, manajer riset IHS. ‘’Setiap orang saling melihat dan berharap orang lain jatuh terkapar sebelum dirinya,’’ katanya.
Jason Kaplan memperkirakan sebanyak 70% dari produsen nikel di dunia merugi secara operasional. Dari mereka, 40% merupakan perusahaan yang terdiversifikasi, sehingga punya cadangan komoditas lain sebagai pengganjal ambruknya harga nikel. Sebanyak 5-10% mendapatkan subsidi dari pemerintah atau bantuan dalam bentuk lain. Seperempat penambang lain sangat tergantung pada harga nikel.
Kaplan memperkirakan, harga nikel tahun ini rata-rata mencapai $8.927 per ton, 25% lebih rendah ketimbang rata-rata tahun lalu.
Ia memperkirakan titik terendah harga nikel sudah tercapai. Bagi perusahaan tambang, harga nikel yang rendah akan sangat menjengkelkan. Tapi bagi industri baja, konsumen utama nikel, ini sangat menguntungkan karena mengurangi biaya produksi.
Banyak produsen yang akhirnya memilih menjadi penambang sekaligus industrialis. ‘’Anda rugi di satu sisi, tetapi mendapat untung di sisi lain,’’ kata Kaplan.
Perusahaan yang paling banyak merugi adalah mereka yang menghasilkan bijih nikel kadar rendah. Untuk mengolahnya membutuhkan sumber energi cukup besar, jauh lebih besar ketimbang yang kadarnya tinggi.
Mengikuti pelarangan ekspor oleh Pemerintah Indonesia pada Januari 2014, analis memperkirakan akan terjadi kekurangan nikel besar-besaran. Indonesia merupakan eksportir nikel terbesar di dunia, pada 2013.
Untuk menggantikan pasokan dari Indonesia, Filipina bergerak menjadi eksportir nikel ke Cina. Pada 2014, setelah Indonesia melarang ekspor mineral mentah, ekspor nikel Filipina langsung melejit 30% menjadi 410.789 ton, atau seperlima dari total produksi dunia.