Jakarta-TAMBANG – Salah satu cara untuk mendorong konversi dari minyak ke gas sebagai sumber energi adalah infrastruktur. Untuk hal ini, badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, PT Pertamina menjadi salah satu yang terdepan dalam mengembangkan infrastruktur gas di level mid-downstream.
Bahkan data menyebutkan selama 10 tahun terakhir capex Pertamina pada infrastruktur gas di sektor liquefaction, pipa, dan regasifikasi mencapai US$ 3,685 miliar atau sekitar Rp 45,69 triliun. Angka ini jauh lebih besar jika dibanding perusahaan penyedia jasa seperti PGN. PGN dalam kurun waktu yang sama menggelontorkan capex sebesar US$ 1,3 miliar atau Rp 16, 12 triliun untuk regasifikasi dan pipa saja karena PGN tidak mengembangkan liquefaction.
“Belanja modal Pertamina selama 10 tahun itu dialokasikan untuk tiga sektor, yaituliquefaction sebesar US$ 2 miliar dengan total kapasitas terpasang 260 juta kaki kubik per hari (MMSCFD), pipa sebesar US$ 1,2 miliar sebanyak 950 MMSCFD, dan regasifikasi senilai US$ 485 juta dengan kapasitas 900 MMSCFD,” ujar Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina di Jakarta, Minggu (10/1).
Menurut Wianda, Pertamina telah membangun sejumlah fasilitas infrastruktur gas, yaitu regasifikasi Arun dengan kapasitas 400 MMSCFD, regasifikasi PT Nusantara Regas 500 MMSCFD, Donggi Senoro LNG dengan kapasitas dua juta metric ton per tahun (MTPA). Di luar itu, perseroan juga menyiapkan pengembangan pipa Arun-Belawan 200 MMSCFD, pipa Belawan KIM-KEK (2016) sebanyak 120 MMSCF, MK-MT-TG (2016) sebanyak 250 MMSCFD, pipa Gresk-Semarang (2016) 250 MMSCFD, dan pipa Porong Grati (2016) sebanyak 122 MMSCFD.
“Kami juga akan memulai konstruksi sejumlah proyek, antara lain Duri-Dumai (pada 2017) berkapasitas 100 MMMSCFD, Gas Solution untuk KIT-E 175 MMSCFD, FSRU Cilacap 2018 sebanyak 200 MMSCFD, dan regasifikasi Banten 2019 sebesar 500 MMSCFD,” ujarnya.
Wianda juga menjelaskan bahwa Pertamina telah berperan dalam seluruh mata rantai bisnis gas terintegrasi melalui LNG liquefaction melalui PT Donggi Senoro LNG, PT Badak NGL, dan PT Perta Daya Gas selain kegiatan eksplorasi dan produksi melalui Pertamina EP, Pertamina Hulu Energi, Pertamina International EP, dan Peramina EP Cepu. Pertamina saat ini telah memiliki unit pengapalan melalui Pertamina Shipping dan regasifikasi oleh PT Nusantara Regas (dengan kepemilikan saham 65%) serta PT Petra Arun Gas. Di luar itu ada juga pengembangan pipa yang digarap PT Pertagas yang menghasilkan LPG Processing melalui PT Perta Samtan Gas dan enam PLG Plant serta ritel/distribusi CNG melalui Pertagas Niaga dan Pertamina.
Sementara itu Hendra Jaya, Direktur utama PT Pertamina Gas (Pertagas), anak usaha Pertamina, mengatakan perseroan memiliki jaringan pipa transmisi open access terpanjang di Indonesia, yaitu 2.200 kilometer (km). Dengan sistem open access, semua jaringan pipa perseroan bisa digunakan oleh siapa pun. “Syaratnya, cukup membayar toll fee yang besarannya ditentukan oleh pemerintah, dalam hal ini BPH Migas,” ujar Hendra.
Hendra juga menjelaskan bahwa saat ini pun Pertagas sedang menyelesaikan beberapa proyek pipanisasi sehingga dari sana diperkirakan akan ada tambahan kurang lebih 400 km. Pertagas juga terus mengembangkan jaringan gas kota.
Selain itu, margin niaga Pertagas sekitar US$ 0,5-0,75 per juta british thermal unit (MMBTU) yang berarti lebih kecil dari dibanding perusahaan lain yang bisa mencapai US$2-3 per MMBTU. Menurut Hendra hal ini dilakukan karena perseroan ingin bersaing dengan perusahaan-perusahaan penyedia jasa yang lain. “Salah satunya karena kami membeli gas dari hulu yang lebih mahal sehingga menurunkan margin agar harga jual gas kami dapat bersaing,” ujar Hendra. Namun ini juga bisa dilihat komitmen Pertamina dan afiliasinya untuk menyediakan harga gas yang terjangkau bagi konsumen, melalui margin niaga yang fair.
Menurut Hendra bisnis Pertagas mendapat dukungan yang kuat dari induk usaha. Sejarah bisnis gas Pertagas tak bisa dilepaskan dari keberadaan Pertamina (Persero) yang sejak puluhan tahun sejatinya telah menjadikan gas menjadi bagian bisnisnya. Sepanjang 2016, Pertagas mengalokasikan investasi sekitar US$ 325 juta. Sebagian besar dialokasikan untuk pengembangan bisnis. Hal ini menunjukkan bahwa Pertagas terus tumbuh dan akan terus tumbuh.
“Kehadiran Pertamina di bisnis gas terintegrasi dari hulu hingga hilir. Pertamina telah berperan dalam seluruh mata rantai bisnis gas terintegrasi di Indonesia,” ujarnya.
Hari Karyuliarto, pengamat gas, menilai selama ini Pertagas telah menjalankan peran sebagai BUMN dengan baik. Perseroan membangun infrastruktur dan pipa yang dibangunnya hampir semuanya open acces. Pertagas tidak hanya mencari untung tetapi juga memperhatikan kepentingan nasional karena open acces sangat membantu Pemerintah dalam menyukseskan konversi minyak ke gas.
“Pemerintah harus segera menerapkan kewajiban open acces karena ini akan sangat membantu mempercepat konversi dari minyak ke gas,” kata Hari. Dia menyanyangkan masih ada perusahaan yang sampai sekarang masih belum menjalankan open acces secara penuh padahal ada pipa gas yang dibangun dengan biaya Bank Dunia dan APBN.
Kebijakan open acces menurut Hari akan memungkinkan pipa tersebut dimanfaatkan lebih banyak pihak dan akan meningkatkan efisiensi. Hal ini pada gilirannya akhirnya akan membantu menurunkan harga gas. “Kebijakan ini seharusnya sudah jalan sejak tiga tahun lalu,”ujarnya.
Selain itu Hari juga meminta perhatian dan dukungan pemerintah untuk pengembangan infrastruktur gas nasional. Dukungan itu bisa dalam bentuk menciptakan demand, memastikan pasokan, dan menjamin pasokan gas.
“Selama ini pengembangan infrastruktur gas itu hanya ekonomis di daerah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur. Jawa Tengah itu belum ekonomis karena permintaannya kurang. Tugas pemerintah untuk menciptakan demand di antaranya mendirikan pusat industri berbasis gas atau mendorong PLN menggunakan pembangkit berbasis gas. Jika itu sudah dilakukan, konsumsi gas akan meningkat,” katanya.
Firlie Ganinduto, Wakil Ketua Komite Tetap Hulu Migas Kamar Dagang dan Industri periode (2010-2015), sebelumnya menyatakan penerapan skema open access tidak berjalan sesuai dengan perundangan yang berlaku. Apalagi disinyalir ada pihak ketiga yang tidak dapat mengakses pipa open access milik perusahaan lain karena pipanya diklaim sudah fully occupied secara kontraktual kendati secara faktual, kapasitas pipa belum optimal.