Dalam rangka mengurangi impor minyak mentah, pemerintah gencar mendorong pengolahan sawit menjadi sejumlah produk bahan bakar kendaraan. Setelah implementasi program biodiesel mencetak hasil signifikan, uji coba racikan sawit menjadi green diesel, green gasoline, dan green jet avtur yang dilakukan Pertamina kian dikebut.
Jakarta, TAMBANG – Indonesia kembali mencetak pencapaiannya dalam mengolah sawit menjadi bahan bakar. Kali ini, sawit berhasil diramu bukan sekadar menjadi campuran, tetapi menjadi diesel murni yang dapat langsung diaplikasikan pada kendaraan. Namanya green diesel, yang pada pertengahan Juli lalu, PT Pertamina mengumumkan hasil uji coba produksinya sebanyak seribu barel per hari dari kilang Dumai, Riau.
Green diesel atau diesel biohidrokarbon ini, diproses dari refined bleached deodorized palm oil alias minyak kelapa sawit yang sudah diolah sampai hilang getah, pengotor dan baunya. Green diesel dinilai memiliki keunggulan dibanding diesel berbasis fosil maupun biodiesel dari fatty acid methyl ester, yang sudah ada sebelumnya. Memiliki cetane number yang relatif lebih tinggi, sebesar 79. Lalu konten sulfur yang lebih rendah, stabilitas oksidasi lebih baik, dan warna yang lebih jernih.
Keunggulan green diesel dalam hal stabilitas oksidasi, diperoleh berkat prosesnya yang menggunakan gas hidrogen. Berbeda dengan biodiesel, di mana pengolahannya menggunakan gas oksigen, yang membawa dampak pada tingginya kadar oksidasi sehingga rentan menyebabkan korosi pada mesin kendaraan.
Menurut Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati mengatakan, green diesel besutan Pertamina menjadi bahan bakar berbasis energi terbarukan yang pertama di Indonesia. Menariknya, pengolahan dengan gas higrogen ini berhasil dilakukan berkat bantuan katalis Merah Putih, sebuah teknologi buatan dalam negeri hasil kerjasama Pertamina dan Institut Teknologi Bandung.
Penemuan katalis Merah Putih segera disambut dengan langkah konkrit. Pertamina, PT Pupuk Kujang, dan PT Rekacipta Inovasi ITB membentuk perusahaan patungan untuk mendirikan pabrik katalis pertama karya anak bangsa ini. Pada September tahun ini, konstruksi pabrik direncanakan bakal dimulai, lokasinya berada di kawasan Cikampek, Jawa Barat.
“Hal ini membuktikan bahwa secara kompetensi dan kapabilitas Pertamina pada khususnya dan anak negeri pada umumnya memliki kemampuan dan daya saing dalam menciptakan inovasi, terbukti bahwa kita mampu memproduksi bahan bakar reneawable yang pertama di Indonesia dan hasilnya tidak kalah dengan perusahaan kelas dunia,” Kata Nicke, Rabu (15/7) lalu.
Saat menghadiri penandatangan pembentukan perusahaan joint venture tersebut, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyatakan, pendirian pabrik katalis akan menunjang upaya pemerintah dalam mengurangi ketergantungan teknologi dari luar negeri, dan mempercepat program bioenergi sebagai pengganti energi fosil, yang pemenuhan kebutuhannya masih mengandalkan impor.
Berdasarkan catatan Pertamina, tahun lalu impor minyak mentah atau crude mencapai sekitar 75 juta barel. Namun dibanding dua tahun sebelumnya, angka tersebut mengalami penurunan yang amat drastis. Pada tahun 2018, impor minyak mentah Pertamina tercatat sebanyak 113 juta barel, dan sebanyak 117 juta barel di tahun 2017.
“Saat ini, kita memiliki tiga proyek strategis nasional, di antaranya di kilang Dumai yang sudah meghasilkan green diesel sebagai langkah awal. Ada lagi di kilang Cilacap yang akan menghasilkan biodiesel, dan saat ini pabrik katalis yang ditargetkan selesai tahun 2021,” ujar Arifin.
Tancap Gas Bahan Bakar Sawit
Untuk biodiesel, yang mandatorinya sudah berjalan sejak beberapa tahun belakangan, terbukti berhasil menekan pengeluaran kas negara untuk impor. Di tahun 2019, nilai penghematan devisa berkat biodiesel mencapai USD 3,35 miliar atau hampir setara Rp 50 triliun. Capaian ini membuat pemerintah ingin segera mengimplementasikan peningkatan campuran biodiesel, dari sebesar 30 persen (B30) menjadi 40 persen (B40).
Lebih lanjut, pemerintah juga mencanangkan pengolahan sawit menjadi sejumlah produk turunan bahan bakar lainnya, mulai dari bioethanol, bensin biohidrokarbon atau green gasoline, hingga avtur biohidrokarbon atau green jet avtur.
Menurut Andriah Feby, seluruh produk yang tergolong green fuel ini, diproyeksikan pengembangannya melalui kilang-kilang Pertamina yang berada di sentra penghasil sawit. “Baik secara co-processing di kilang-kilang existing, maupun ke depannya dengan pembangunan kilang baru yang didedikasikan untuk green fuel,” ungkapnya.
Co-processing merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk memproduksi green fuel melalui proses pengolahan bahan baku minyak nabati dengan minyak bumi secara bersamaan.
Pertamina telah menyiapkan kilang Cilacap untuk bisa melakukan uji coba produksi green avtur pada akhir tahun 2020. Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menjelaskan, pihaknya akan melakukan pengolahan co-processing dengan injeksi sekitar tiga persen minyak kelapa sawit yang sudah dibersihkan pengotornya.
“Uji coba green avtur merupakan bagian dari roadmap pengembangan kilang nabati. Selain Dumai, Pertamina juga akan membangun dua kilang nabati lainnya, yaitu di Cilacap dan Plaju,” ujar Nicke.
Kilang nabati di Cilacap nantinya dapat memproduksi total energi hijau dari sawit berkapasitas 6.000 barel per hari, sedangkan di Plaju, kapasitasnya sekitar 20 ribu barel per hari.
“Beberapa perusahaan dunia sudah dapat mengolah minyak sawit menjadi green diesel dan green avtur, namun untuk green gasoline, Pertamina merupakan yang pertama di dunia,” imbuhnya.
Green gasoline sendiri, telah berhasil diuji coba di fasilitas kilang Plaju dan Cilacap sejak tahun lalu, yang kini telah berkembang, dengan injeksi minyak sawit menjadi sebesar 20 persen.
Nicke juga menambahkan, produk energi hijau ini akan memanfaatkan pasokan sawit yang melimpah di dalam negeri. Langkah ini juga positif, karena akan mengurangi defisit transaksi negara akibat impor minyak mentah, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Sebagai informasi, minyak sawit nasional saat ini produksinya mencapai 46 juta ton, sedangkan kekuatan serapan dari fatty acid methyl ester, tercatat sekitar 11 persen. Daya serap ini diharapkan akan meningkat seiring perkembangan kilang-kilang nabati yang disiapkan Pertamina untuk menghasilkan berbagai produk energi berbasis sawit.