Jakarta-TAMBANG. Trend energi masa depan adalah energi bersih. Di sisi lain PT Pertamina (Persero) punya visi 2025 menjadi perusahaan energi kelas dunia. Ini tentu tidak lepas dari upaya untuk mulai meningkatkan porsi energi terbarukan dalam unit bisnis.
Apalagi Indonesia bersama masyarakat dunia tengah gencar berupaya mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen hingga tahun 2030 mendatang. Pemerintah Indonesia juga dihadapkan tantangan untuk meningkatkan penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025 mendatang.
Di sisi lain potensi EBT di Indonesia juga sangat besar sehingga PT Pertamina Geothermal Energy, anak usaha PT Pertamina (Persero) terus mencari peluang kerja sama pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia. Panas bumi memiliki potensi hingga sebesar 29.000 megawatt (MW) di seluruh pelosok nusantara tetapi yang terpasang baru sekitar 1.800 MW.
President Director PT Pertamina Geothermal Energy, Irfan Zainuddin menyatakan perusahaan terus berkomitmen mengembangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi di Indonesia. Kapasitas terpasang perusahaan saat ini mencapai 587 MW dan diperkirakan akan mencapai 2.137 MW pada 2025 mendatang seiring terbangunnya pembangkit yang sedang dibangun dan pembangkit-pembangkit baru.
Namun diakuinya, ada beberapa tantangan pengembangan PLTP ke depan, seperti tingginya investasi upfront, sekitar US$4-5 juta per MW, biaya pokok produksi (BPP) daerah yang belum ekonomis dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 50/2017, tingginya risiko eksplorasi dan terbatasnya data geoscience dalam proses lelang wilayah kerja panas bumi, penolakan yang tinggi dari masyarakat setempat termasuk juga konflik selama proses akuisisi lahan, belum adanya regulasi yang mengatur penjualan energi panas bumi secara langsung (harus melalui offtaker).
“Tapi juga masih ada beberapa peluang seperti semakin banyak perusahaan multinasional seperti IKEA, Google, Nestle, Nike, Unilever dan Apple yang berkomitmen yerhadap pengembangan energi bersih (EBT). Pemerintah perlu mengembangkan skema power wheeling,” ungkap Irfan pada Pertamina Energy Forum 2017, Rabu (13/12).
Adapun power wheeling merupakan skema pemanfaatan bersama jaringan transmisi atau jaringan distribusi tenaga listrik. Terdapat dua skema untuk pemanfaatan bersama tersebut, pertama untuk penggunaan sendiri, misalnya terdapat industri yang memiliki pembangkit listrik, ingin menyuplai listrik untuk pabriknya di tempat yang berbeda, karena tidak memiliki jaringan transmisi dan distribusi, maka industri tersebut menggunakan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN.
Skema kedua adalah bukan untuk pemakaian sendiri, misalnya pembangkit listrik swasta (IPP) yang ingin menjual listriknya kepada konsumen industri. Karena tidak memiliki jaringan transmisi dan distribusi, maka IPP tersebut menggunakan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN. Tentunya perusahaan tadi maupun IPP yang memanfaatkan jaringan PLN, harus membayar sejumlah biaya tertentu.
President Director of General Electric Indonesia, Handry Satriago memaparkan pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi mencapai 6 persen dalam tiga hingga lima tahun ke depan. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, kebutuhan akan energi diperkirakan meningkat sekitar 6 persen.
Dibutuhkan investasi yang besar, sekitar US$600 miliar hingga 2040 mendatang, serta investasi kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mengembangkan potensi EBT.
“Tantangan lain juga kita masih mengalami gangguan akibat kebijakan yang belum mendukung EBT, dengan frekuensi sekitar 5,58 kali pertahun atau 5,81 jam per tahun dan ini tentu menimbulkan kerugian hingga ratusan bahkan jutaan hal lain,” lanjutnya.
Senior Operating Officer Power Business Division Marubeni Corporation, Yoshiaki Yokota menyatakan kebutuhan akan Solar Photovoltaic atau pembangkit listrik berbasis panel surya (PLTS) di dunia akan meningkat secara drastic dalam 25 tahun ke depan, dan diperkirakan instalasi terpasang solar PV akan mencapai 12.879 GW pada 2040 dari 6.719 GW pada 2016.
Di satu sisi, harga baterai di unit modul solar PV trendnya semakin efisien, dari sekitar US$76 per watt pada tahun 1977 lalu menjadi US$0,30 per watt pada 2015, atau turun sepersepuluh dalam 10 tahun terakhir. Untuk itu perusahaan terus berinovasi dalam menyediakan teknologi pembangkit listrik berbahan energi terbarukan khususnya panas bumi dan solar PV yang efisien.
“Total kapasitas yang kami install di berbagai dunia sudah mencapai 12.284 MW secara net termasuk PLTS Sweihan dnegan kapasitas 1.177 MW di Abu Dhabi, dan PLTP Rantau Dadap 87 MW di Indonesia. Kita harus terus berinovasi mengingat investasi di pembangkit listrik tenagapanas bumi sendiri diperkirakan mencapai US$ 9 miliar dalam beberapa tahun ke depan” kata dia.
Ditambahkan, untuk PLTS Sweihan sendiri, ada beberapa faktor kunci yang membuat pembangunan PLTS berjalan sukses. PLTS yang memiliki total panel surya sepanjang 5,7 kilometer ini, yang terbesar di Abu Dhabi, melibatkan sindikasi dari 8 perbankan dari sisi pembiayaannya. Kunci percepatan lain adalah jaminan dari perinngkat surat utang pemerintah Abu Dhabi, dimana ia mendapat investment grade (AA+) dari S&P, proses tender yang cepat dan efisien, dimungkinkannya skema build and own operate (BOO) serta bankabilitas dari proyek Sweina sendiri.