Jakarta, TAMBANG – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan kebijakan strategis mulai dari Penataan ulang proyek ketenagalistrikan, Penerapan mandatory B20, meningkatkan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri), hingga kebijakan hasil ekspor sumber daya alam untuk penguatan devisa nasional. Kebijakan ini, menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo untuk mengendalikan impor dan memperkuat devisa,
“Arahan Bapak Presiden kalau melihat konstitusi UUD 1945 dan semua Undang-Undang (UU) turunannya, semua sumber daya alam dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Secara ringkas, saya selalu mengatakan, kalau di Undang-Undang, baik Undang-Undang Minerba, Undang-Undang Migas, tidak ada tambang dalam bentuk apapun yang dimiliki oleh privat atau swasta, tidak ada, semua dimiliki oleh negara. Oleh karena itu, arahan Bapak Presiden, kalau dilakukan ekspor, uangnya harus kembali,” ungkap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan didampingi Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar dan para pejabat terkait dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Selasa malam (4/9).
Untuk itu Jonan mengungkapkan, Kementerian ESDM akan menetapkan peratuan bahwa semua ekspor harus pakai letters of credits (LC). Di samping itu, hasil ekspor juga 100 persen harus kembali ke Indonesia, baik dalam bentuk Dollar Amerika atau ditempatkan di bank-bank Pemerintah Indonesia di luar negeri.
“Saya kira itu tidak ada masalah. Kita akan buat mekanisme, kita akan minta buktinya mana uang yang kembali, ekspor sekian kan kita bisa hitung pakai LC, uangnya sudah kembali belum ke Indonesia. Jika uang hasil ekspor tersebut tidak kembali, perusahaan dapat dikenakan sanksi untuk mengurangi ekspornya,” tambah Jonan.
Sementara di sektor Ketenagalistrikan, Jonan menjelaskan, dari program pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) yang direncanakan, yang belum mencapai financial close dan sudah digeser ke tahun-tahun berikutnya jumlahnya sebesar 15.200 MW.
“Jadi digeser sesuai dengan kebutuhan permintaan kelistrikan nasional, tapi bukan dibatalkan. Kapasitas pembangkit yang ditunda, mestinya Commercial Operation Date (COD) 2019 ditunda ke tahun 2021 sampai 2026. Itu mungkin bisa mengurangi beban impor sekitar kira-kira 8 miliar USD sampai 10 miliar USD, jadi digeser,” imbuh Jonan.
Namun Jonan memastikan bahwa pergeseran ini tidak mengurangi target Pemerintah untuk mencapai rasio elektrifikasi 99 persen di tahun 2019.
“Kalau misalnya ditanya hari ini, mungkin sudah 97,13 persen hingga 97,14 persen. Akhir Tahun (2018) 97,50 persen pasti tercapai,” terang Jonan.
Mengenai rencana impor barang juga berlaku untuk sektor hulu migas, sektor ketenagalistrikan, minerba dan juga Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE).
“Prinsipnya, kita tidak akan menyetujui masterlist detil untuk rencana impor yang bisa digantikan produknya oleh produk yang sudah dihasilkan atau manufaktur di dalam negeri. Dua catatannya, satu memenuhi kualitas , spesifikasinya sama dan kedua kualitasnya juga mencukupi. Arahan Bapak Presiden harus didorong penggunaan produk di dalam negeri,” jelas Jonan.
Sementara terkait penerapan B20 yang berlaku mulai tanggal 1 September 2018, Pemerintah akan melakukan pengawasan dengan sungguh-sungguh dan menampung apa yang bisa diperbaiki dari waktu ke waktu.
“Tujuan untuk mencapai penerapan B20 ini harapannya bisa menghemat devisa kira-kira sekitar USD2,3 miliar untuk 4 bulan, September sampai Desember 2018. Kalau tahun depan, secara total mungkin bisa menghemat lebih dari USD3,3 miliar. Ini termasuk juga PLTD yang dioperasikan oleh PLN. Malah kami juga minta ke PLN dalam dua tahun, agar PLTD yang kapasitas operasionalnya sudah rendah, itu bisa diganti dengan 100 persen minyak kelapa sawit,” lanjut Jonan.
Terakhir, terkait produksi kontraktor minyak nonPertamina yang produksinya harus ditawarkan ke Pertamina, Jonan mengungkapkan, saat ini peraturan mengenai hal tersebut terus dimatangkan.
“Kami juga sedang mengatur, bahwa produksi minyak mentah yang menjadi bagian kontraktor asing atau kontraktor nonPertamina itu mekanismenya harus ditawarkan juga ke Pertamina untuk beli. Jadi jangan produksi kita dilelang di Singapura, nah Pertamina karena butuh juga impor minyak mentah beli ke Singapura, ini kan lucu. Minyak kita dikirim ke luar negeri, minyak dari luar negeri kita impor ke sini,” tutup Jonan.