Jakarta,TAMBANG,- Presiden Joko Widodo ketika bertemu 100 ekonom beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa Indonesia kemungkinan akan kalah dalam sidang WTO terkait kebijakan larangan ekspor bijih nikel. Sampai saat ini pun belum ada keputusan terkait hal tersebut. Meski demikian sudah ada berbagai pendapat yang mengemukakan dampak jika Indonesia dinyatakan bersalah oleh WTO.
Terkait dengan itu, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) sebagai organisasi profesi di industri pertambangan memastikan akan terus mendukung pemerintah untuk melanjutkan hilirisasi di tengah ancaman gugatan Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Menurut PERHAPI, apapun keputusan WTO, Indonesia tetap akan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki untuk kemajuan industri dalam negeri.
Ketua Umum PERHAPI Rizal Kasli mengungkapkan, jika nantinya Indonesia kalah atau harus kembali membuka keran ekspor nikel, masih banyak hal yang dapat dilakukan agar hilirisasi terus berjalan. Indonesia tidak akan dengan mudah mengekspor bijih nikel yang saat ini menjadi incaran berbagai negara.
“Kita diberi kelebihan dengan sumber daya yang ada. Sumber daya ini wajib digunakan semaksimal mungkin untuk kemajuan bangsa dan negara. Jika pemerintah telah memberi sinyal nantinya akan menaikkan tarif ekspor bijih, itu hanya salah satu jalan agar ekspor bijih menjadi tidak menarik atau tidak menguntungkan. Namun masih ada beberapa langkah lainnya yang dapat
dilakukan,” ungkap Rizal.
Menurut PERHAPI, apapun keputusan WTO nantinya, yang paling harus dijaga adalah kepastian terhadap investasi yang ada saat ini. Pemerintah harus mengamankan rantai pasok bijih nikel terhadap industri yang telah dan akan tumbuh, yakni pabrik peleburan (smelter) dan pemurnian (refinery). Selain meningkatkan tarif ekspor, pemerintah juga dapat mengatur jumlah produksi melalui Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) pemegang izin pertambangan. Pembatasan produksi dapat dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral guna menjaga umur cadangan nikel dalam negeri.
Selain itu, seperti yang telah dilakukan di batubara, pemerintah juga bisa menerapkan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) bagi para pemegang izin produksi pertambangan nikel. Ini wajib dilakukan guna memastikan kebutuhan negeri dapat terpenuhi. Hilirisasi nikel yang telah
berjalan harus mendapatkan jaminan bahwa pabriknya tidak akan kekurangan pasokan. “Berbagai kebijakan ini nantinya akan bermuara pada ekspor menjadi tidak menarik, dan industri yang telah tumbuh dipastikan akan terus tumbuh. Di sisi lain, secara ekonomis, industri yang dekat
dengan bahan baku akan lebih menguntungkan,” jelas Rizal lagi.
Rizal juga mengungkapkan, tuntutan dari Uni Eropa juga harus menyadarkan pemerintah akan kepastian dan kenyamanan berinvestasi. Indonesia, telah mengeluarkan berbagai izin kepada para investor, namun dalam pelaksanaannya masih banyak hambatan di lapangan. Tidak jarang, izin yang telah diterbitkan, tidak dapat dilaksanakan karena tidak adanya dukungan di daerah. Kepastian hukum terhadap izin pun terkadang menjadi pertanyaan tersendiri.
“Kita sudah hidup di dunia tanpa batas. Sehingga, setiap investor dapat memilih di manapun ia akan berinvestasi. Untuk itu, pemerintah juga harus berbenah dan tidak hanya sekadar melarang atau memperketat ekspor bahan mentah. Penciptaan iklim investasi yang nyaman dan aman serta berkepastian hukum haruslah benar-benar dijalankan. Singkronisasi dan harmonisasi pusat dan daerah, penertiban pertambangan ilegal, kemudahan dan kecepatan mengurus perizinan, dan dukungan implementasi di lapangan harus menjadi prioritas. Intinya, para investor hadir karena kenyamanan dan keinginan, bukan keterpaksaan,” ujar Rizal yang tetap yakin hilirisasi di Indonesia akan terus tumbuh.
Sebagai informasi, masifnya pembangunan pabrik nikel berteknologi pyrometallurgy tersebut, di satu sisi menimbulkan kekuatiran akan cadangan bijih nikel kadar tinggi. Perhitungan dari Kementerian ESDM, jika eksplorasi lanjutan tidak dilakukan, serta cadangan tidak bertambah, maka cadangan hanya akan dapat mensuplai kebutuhan pabrik sekitar 7 tahun saja. Jika keran ekspor dibuka, justru membahayakan karena terkait keberlangsungan industri berbasis nikel yang sudah berjalan baik di Indonesia. Hilirisasi nikel telah memberikan multiplier effect yang besar berupa peningkatan devisa, peningkatan Pendapatan Domestic Bruto, penyerapan tenaga kerja, serta penerimaan negara dan daerah.