Jakarta-TAMBANG. Sidang putusan Kasus pembunuhan Salim Kancil dan praktek pertambangan pasir besi ilegal di Lumajang, yang seharusnya dilaksanakan pada Kamis (16/6), oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya dinyatakan ditunda hingga 23 Juni nanti karena terdakwa, Kades Hariyono Dkk, tidak bisa hadir dalam persidangan dengan alasan sakit.
Tim Advokasi Keadilan Salin Kancil, Rere Christanto menerangkan, sidang putusan yang dijadwalkan pada pukul 09.00 WIB dinyatakan ditunda hingga Majelis Hakim dan Penasihat Hukum terdakwa hadir di persidangan. Kemudian, pada pukul 11.58 WIB sidang kembali dibuka dan pembacaan putusan dinyatakan ditunda karena terdakwa tidak dapat hadir.
Penundaan tersebut dinilai menambah panjang daftar kejanggalan dalam proses sidang kasus Salim Kancil. Sejak persidangan perdana pada 18 Februari lalu, Tim Advokasi Keadilan Salim Kancil sudah menduga hal itu. Pasalnya, proses persidangan terkesan berlarut-larut dan tidak pernah tepat waktu.
“Sidang yang dijadwalkan mulai pada pagi hari selalu molor dan baru mulai pada siang atau sore hari. Tidak hanya itu, bahkan Jaksa sempat menunda agenda pembacaan dakwaan hingga tiga kali sidang,” ujar Rere yang juga menjabat Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi TAMBANG, Jumat (17/6)
Selain proses sidang yang berlarut-larut, Jaksa juga dianggap tidak mampu menghadirkan saksi-saksi yang kompeten. Bahkan dalam beberapa sidang, saksi yang diajukan jaksa sering menjawab pertanyaan dari Hakim dengan jawaban tidak tahu atau tidak ingat, sehingga semakin mengaburkan fakta yang sebenarnya.
Tim Advokasi Keadilan Salim Kancil juga menilai proses pengadilan hanya mendudukkan kasus salim kancil sebagai kasus kriminalitas biasa, sehingga tidak mampu membongkar akar permasalahan dari kasus Salim Kancil, yakni mafia pertambangan pasir besi illegal di pesisir Lumajang. Aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian, Kejaksaan dan Majelis Hakim tidak secara serius mendalami fakta-fakta di lapangan maupun selama persidangan.
Ini terbukti dengan tidak adanya satupun penadah pasir besi illegal maupun penerima dana milyaran dari hasil tambang illegal tersebut yang terseret dalam proses persidangan ini. Hanya kepala desa Selok Awar-awar, Hariyono, dan 34 anak buahnya saja yang diproses, yang notabene mereka hanya pelaku dan eksekutor di lapangan. Namun penadah pasir besi illegal dan penikmat milyaran rupiah yang dihasilkan dari tambang illegal tersebut sama sekali tidak tersentuh proses hukum.
Rere menduga bahwa ada skenario yang sengaja dimainkan oleh oknum tertentu untuk menutupi peran Mafia pertambangan dan meringankan hukuman bagi para terdakwa. “Apalagi dengan ditundanya sidang putusan ini, semakin menegaskan kejanggalan dalam proses hukum kasus Salim Kancil. Indikasi ini makin menguat, setelah sebelumnya proses sidang ini sering berlarut-larut hingga tiga kali penundaan sidang pembacaan tuntutan oleh Jaksa,” ujarnya.
Ki Bagus Hadi Kusuma dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) berharap penyelesaian kasus Salim Kancil ini tidak hanya menyentuh pada para pelaku dan eksekutor, namun juga harus bisa menyentuh para mafia pertambangan yang ada dibelakangnya. “Mulai dari aparat Negara yang melakukan pembiaran dan melindungi tambang ilegal, para pemodalnya, hingga perusahaan yang menjadi penadah pasir besi illegal ini. Tentu saja hal ini akan bisa terbongkar jika kepolisian dan kejaksaan berani membuka aliran dana milyaran yang dihasilkan oleh pertambangan illegal tersebut,” pungkasnya.