Bandung, TAMBANG– Timah merupakan salah satu komoditas tambang andalan Indonesia. PT Timah Tbk yang merupakan bagian dari holding MIND ID saat ini menempati urutan kedua sebagai produsen timah terbesar dunia. Bahkan ada di urutan pertama sebagai eksportir timah terbesar dunia. Dari sisi hilirisasi, saat ini produk ekspor timah adalah tin ingot yang kadarnya sudah mencapai 99,99%.
“Tentunya sudah saatnya Pemerintah mengarahkan kita untuk bergerak lebih ke hilir lagi. Sehingga tidak berhenti pada logam timah yang dimurnikan tetapi masuk ke industri-industri hilirnya. Namun ini tidak mudah ketika melihat fakta bahwa saat ini serapan nasional kita baru sampai 5% dari produksi ingot timah nasional,” terang Direktur Utama PT Timah Tbk, Achmad Ardianto dalam diskusi “The 1st Indonesia Minerals Mining Industry Conference-Expo 2022” yang digelar Direktorat Jenderal Mineral Batubara Kementerian ESDM, Rabu (30/11).
Meski demikian, Achmad Ardianto mengingatkan fokus perhatian harus dimulai dari hulu yakni kegiatan penambangan. Menurutnya, tata kelola hilirisasi timah harus dimulai dari tata kelola di hulu yakni pertambangan.
“Sudah saatnya kita berhenti mengatakan siapa yang salah dan siapa yang benar. Pemerintah perlu menyusun kebijakan dengan tujuan bagaimana pasir timah ini dapat optimal memberi manfaat pada bangsa dan negara serta masyarakat,” tandasnya.
Tata kelola penambangan timah mengarah para bagaimana penambang rakyat bisa menambang dengan tenang dan legal, smelter yang sudah dibangun bisa menghasilkan timah yang dimurnikan dengan tenang tanpa harus takut terkena masalah hukum. Kemudian kontribusi pajak dan penerimaan negara terus ditingkatkan.
Sementara di hilir salah satu pekerjaan rumah yang tidak kalah penting adalah bagaimana membangun industri hilir untuk menyerap ingot timah. Ini bukan pekerjan mudah karena saat ini 95% produk ingot timah nasional diekspor. Butuh banyak industri hilir yang dibangun untuk mampu menyerap produk dalam negeri.
Ia meyakini jika smelter milik PT Timah Tbk dan swasta bersatu, maka agregasi timah Indonesia bisa memberi kontribusi 40% pada kebutuhan timah global.
“Harusnya kalau kita bisa memainkan pasokan dan permintaan, Indonesia akan mampu menjadi penentu harga timah dunia. Dan terakhir adalah lingkungan terjaga,” tambah Ardianto.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Pokja Timah Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Jabin Sufianto mengatakan, tidak mudah untuk serta merta melakukan larangan ekspor sementara pasar domestik tidak dipersiapkan. Di sisi lain membangun industri hilir timah tidak mudah.
Jabin yang juga adalah Ketua Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) menyebutkan beberapa faktor. Mulai dari tingkat kandungan timah dari beberapa produk hilir yang terbilang kecil. Untuk tin chemical, kadungan timah dalam produk tersebut hanya 20%. Demikian juga dengan tin plate yang malah kandungan timah dalam produk tersebut tidak sampai 2%.
“Oleh karenanya jika ingin membangun industri turunan timah, maka harus juga dipastikan pasokan bahan baku selain logam timah,” tandas Jabin.
Pemerintah juga perlu menyediakan insentif mulai dari infrastruktur, fiskal, dan finansial sehingga investor tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Namun dengan berbagai pertimbangan, Jabin meyakini industri hilir yang dibangun di Indonesia tidak akan mampu. Belum lagi dilihat dari kontribusi kegiatan pertambangan timah pada perekonomian di Provinsi Bangka Belitung terbilang besar.
“Provinsi Bangka Belitung punya ketergantungan yang sangat tinggi pada pertambangan timah, di mana hampir 170 ribu orang yang bergantung secara langsung. Kontribusi pada perekonomian pun lebih dari 30%. Jadi kalau memang larangan itu langsung diberlakukan akan berdampak pada perekonomian di Bangka-Belitung,” ungkapnya.
Ia memperkirakan akan ada pemutusan hubungan kerja massal dan situasi sosio-ekonomi pun akan terdampak. Tidak hanya itu, negara juga akan kehilangan pendapatan di mana di tahun 2021 kontribusi dari pertambangan timah mencapai Rp1,71 triliun dan dana bagi hasil dalam beberapa tahun stabil di angka Rp500 miliar.
Jabin juga menyoroti daya saing industri hilir Indonesia yang masih dinilai belum cukup kuat. Mulai dari fiskal dan pajak yang perlu dikaji kalau memang mau mendorong hilirisasi yang benar.
“Karena PPn sebesar 11% itu sudah tinggi sekali dan memberatkan untuk adanya hilirisasi. Untuk apa kita berperang kalau nanti sudah produksi tiba-tiba harganya tidak masuk,” tandasnya.