Jakarta, TAMBANG – Rencana pengembangan logam tanah jarang atau rare earth di Indonesia tersendat dilema geopolitik. Hal tersebut diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan.
Melalui diskusi virtual, Sabtu (25/7), Menteri Luhut mengungkapkan, China merupakan kandidat terkuat sebagai investor. Namun, jika Indonesia bekerja sama dengan China, ini akan memperkuat posisi China sebagai pemain tunggal logam tanah jarang.
Sehingga, dikhawatirkan bisa menimbulkan sentimen negatif bagi Indonesia di mata dunia. Indonesia akan dituding terlalu miring ke China.
Apalagi, China sempat memboikot pasokan ke Amerika Serikat. Akibatnya, berbagai industri elektronik berteknologi tinggi yang memakai bahan baku logam tanah jarang di Amerika kewalahan.
“Investor yang paling cepat itu China. Kalau kita semua kasih China, bagaimana. Ini kita juga dilematis mengenai rare earth ini. Karena rare earth paling banyak diproduksi di China. Amerika sendiri begitu ditutup ekspor oleh China kelabakan juga“ beber Menko Luhut.
“Jadi memang tidak sesederhana yang dilihat orang. Cari investor itu tidak semudah yang dipikirkan orang,” sambungnya.
Untuk Alutsista Canggih
Sebelumnya, isu mengenai rare earth ini kembali mengemuka setelah Menko Luhut bertemu dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Keduanya serius membahas potensi logam tanah jarang dari abu pembangkit listrik batu bara, dan dari sisa hasil pengolahan mineral, khususnya timah.
Perbicangan tersebut hendak mempersiapkan logam tanah jarang sebagai bahan baku pembuatan senjata canggih dan berbagai alat utama sistem pertahanan (alustsita) milik TNI. Berdasarkan uji coba yang sudah dilakukan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), logam tanah jarang berhasil diaplikasikan menjadi cat anti radar pada kapal Patkamla Sadarin milik TNI Angkatan Laut.
Cat anti deteksi radar ini diproduksi dari pasir monasit sisa pengolahan bijih timah. Monasit tersebut kemudian diproses menjadi salah satu material dari smart magnet yang menjadi basis utama cat anti radar.
Sebagai informasi, saat ini beberapa negara sudah mengembangkan rare earth sebagai kebutuhan industri, di antaranya China, Amerika Serikat, India, Brazil, Australia, Afrika Selatan, hingga Malaysia. Namun, produksi terbesar dikuasai oleh China mencapai 95 persen dari total produksi di dunia.
“Kita harus lihat kepentingan nasional, tidak asal terima saja orang datang investasi. Tidak begitu ceritanya. Ada perhitungan strategi, geopolitik sebelum kita putuskan ¡tu, dan berapa banyak yang kita berikan. Tidak akan kita berikan semua,” tegas Menko Luhut.