Jakarta-TAMBANG Menteri ESDM Ignatius Jonan telah mengirim Surat kepada Kementrian Koordinator Perekonomian terkait Perubahan keempat atas Peraturan Pemerintah No.23 tahun 2010 tentang pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Beberapa point penting dalam RPP dijabarkan dalam Surat tersebut.
Terkait dengan surat dan juga point yang disampaikan, beberapa pengamat menilai Kementrian ESDM hanya memperhatikan kepentingan beberapa perusahaan tambang khusus pemegang kontrak karya.
Salah satunya disampaikan oleh Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirus) Budi Santoso. Ia menilai RPP yang dibuat Kementrian ESDM terkesan tergesa-gesa dan hanya untuk memenuhi kepentingan salah satu pihak saja.
“Pemerintah sebaikanya melihat perubahan PP tidak sesederhana point-point tersebut. Slasan lima tahun sebaiknya diuraikan dalam kajian. Sebaiknya Pemerintah melihat fundamental permsalahan kenapa hilirisasi tidak berjalan dan bagaimana affirmative action yang konprehensif bukan hanya tambal sulam,”tandasnya.
Menurutnya Pemerintah harus memperlakukan sama untuk semua komoditi dan juga pelaku usaha. Jangan ada perbedaan perlakuan antara perusahaan pemegang Kontrak Karya dengan Perusahaan Pemegang IUP.
Ketika ditanya tentang apakah komoditi lain seperti nikel dan tembaga pelu diberi kelonggaran ekspor, Budi menilai Pemerintah perlu melakukan itu dengan beberapa pertimbangan. “Saya kira Pemerintah harus memberlakukan ke komoditi yang lain (nikel dan bauksit) dengan syarat terbatas dan hanya sebagai emergency exit,”katanya.
Budi kemudian menyebut ketiga syarat tersebut adalah ekspor hanya untuk mem back-up kondisi finansial perusahaan, diberikan hanya pada perusahaan yang sudah dan sedang membangun smelter dan tentu saja memiliki cadangan yang cukup. “Jangan sampai pembatasan mineral seolah-olah hanya untuk pihak tertentu.
Aspek lain yang juga disorot Budi terkait kebijakan bea keluar yang mana dananya akan digunakan BUMN yang ditunjuk Pemerintah untuk membangun smelter. Menurut Budi hal ini terbilang aneh. “Penerapan bea keluar yang akan dipakai untuk membangun smelter oleh BUMN juga agak aneh dan apakah ini sudah ada kajiannya. Jangan sampai ini cuma indah diatas kertas saja,”kata Budi.
Sebagaimana diketahui Menteri ESDM Ignatius Jonan dan wakil Menteri ESDM Arcandra Thahar telah mengirim Surat ke Kementerian Koordinator Perekonomian Darmin Nasution. Surat yang dikirim pada 28 Desember 2016 tersebut isinya tentang revisi keempat dari PP No.23 tahun 2010 tentang pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. RPP tersebut telah dijabarkan dalam Surat kepada Menko Perekonomian Darmin Nasution. Dari copian surat yang bertanggal 28 Desember 2016 dan ditandatangani Wakil Menteri ESDM Arcandra Thahar. Dalam surat tersebut ada 11 point yang akan tertuang dalam PP hasil revisian.
Kementrian Perindustrian sebagai respon atas Surat dari Kementrian ESDM memberi beberapa masukan. Khusus terkait hilirisasi, Kementrian Perindustrian dalam suratnya memberi masukan terkait lumpur anoda sebagai produk samping dari pengolahan konsentrat tembaga menjadi katoda tembaga tidak bisa dimasukan dalam produk olahan sehingga ekspor lumpur anoda tidak dikenakan bea keluar. Kemudian izin ekspor lumpur anoda dikeluarkan Menteri yang mengurus Izin usaha penghasil lumpur anoda.
Selanjutnya untuk nikel kadar rendah tidak dapat dijual keluar negeri oleh siapa pun termasuk BUMN karena bukan termasuk produk olahan.
Selanjut Menko Perekonomian pun telah mengirim surat ke Kementrian Hukum dan HAM untuk segera memproses rancanangah tersebut menjadi revisi keempat PP 23 tahun 2010.
Untuk diketahui izin ekspor konsentrat untuk komoditi tembaga bakal berakhir pada 11 Januari 2017. Butuh regulasi baru yang mengatur tentang kebijakan pengolahan dan pemunrian mineral. Dan regulasi tersebut berupa revisi keempat dari PP No 23 tahun 2010 tentang kegiatan Pertambangan mineral dan batu bara.