Jakarta – TAMBANG. Pengamat energi Sofyano Zakaria menilai pernyataan Menteri Sekretaris Kabinet (Menseskab) Pramono Anung soal harga avtur di Indonesia yang mahal telah membuat pesawat asing tidak mengisi avtur di Indonesia, perlu dibuktikan kebenarannya.
Menurut Sofyano, Presiden, Menteri Perhubungan, dan Menseskab sekalipun, harus yakin bahwa informasi atau laporan yang mereka terima sudah dicek ketepatannya sebelum mempublikasikannya secara terbuka ke media.
“Presiden dan atau menteri Perhubungan sebaiknya tidak menelan mentah-mentah informasi dan laporan yang diterima, karena jika kemudian ternyata informasi tersebut tidak atau kurang ‘valid’ maka pernyataan Presiden dan menteri akan dinilai pernyataan yang tidak profesional oleh publik,” kata Sofyano yang juga Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) dalam siaran pers di Jakarta, Senin (14/9).
Dia menegaskan bahwa hal seperti itu tentu sangat tidak menguntungkan buat Pemerintah khususnya bagi Presiden Jokowi. Publik akan mengetahui bahwa pengisian avtur atau refuelling di bandara Indonesia, pasti akan dilakukan oleh pesawat pesawat yang jauh jarak terbangnya dari bandara asal dan terbang secara langsung (direct flight).
“Misalnya untuk pesawat Emirates dari Dubai ke Cengkareng dan Dubai ke Denpasar. Begitu juga untuk airline seperti Qatar yang terbang langsung dari Doha ke Cengkareng. Tidak semua penerbangan internasional ke Indonesia transit ke Singapura, apalagi jika dilakukan khusus untuk membeli avtur di Singapura,” ujar Sofyano.
Menurut dia, penerbangan jarak jauh itu pasti semua mengisi avtur di bandara Indonesia, dan avtur-nya tentu saja dibeli dari BUMN Pertamina.
“Hanya pesawat luar negeri yang terbang jarak dekat seperti Singapura yang terbang dari Singapura ke Cengkareng atau Singapura ke Medan dan atau pesawat terbang Malaysia yang terbang ke Jakarta dan Medan saja, yang isi avtur kembali ke negara asalnya. Dan itu bukan karena faktor mahalnya avtur yang dijual di Indonesia, tapi karena avtur pesawat tersebut cukup untuk bahan bakar pulang kembali ke bandara asal mereka,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut dia, jika Seskab mengatakan bahwa pesawat-pesawat milik negara asing tidak mau beli avtur dari BUMN Pertamina karena harganya mahal, maka pendapat itu tentu “keliru”. Artinya kekeliruan tersebut bisa mungkin bersumber dari kelirunya informasi dan atau laporan yang diterima Presiden, Seskab dan Menteri Perhubungan.
“Saya juga menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan memberi perlakuan dengan menghapus PPn pada transaksi avtur bagi airline internasional. Tetapi pungutan Ppn tetap dilakukan bagi penerbangan domestik bahkan dikenakan pula Pph sebesar 0,3%,” katanya.
Sofyano sangat terkesan bahwa pemerintah sangat memanjakan “orang kaya” yang terbang keluar negeri dan penumpang dari luar negeri yang masuk ke Indonesia dengan alasan untuk kepentingan pariwisata.
Ditambahkan, harga avtur di Indonesia lebih mahal dari harga Singapura atau Malaysia, itu juga bergantung dengan banyak faktor. Pasokan avtur ke Bandara Changi Singapura dan Bandara Kuala Lumpur dilakukan dari supply point yang sangat dekat, yang membuat biaya transportasi mereka lebih murah dibanding biaya transportasi avtur ke bandara-bandara yang ada di Indonesia.
Sedangkan, avtur di Indonesia diproduksi dari kilang dalam negeri yang sudah “jadul” , yang biaya produksinya mahal. Ini tentunya juga yang menjadikan lebih mahalnya harga avtur BUMN Pertamina. Jika avtur itu diimpor, maka biaya ongkos angkut avtur ke Indonesia tetap saja akan lebih mahal dari harga avtur di Singapura.
Sofyano menegaskan, publik juga paham bahwa bandara di Indonesia ini jumlahnya sangat banyak dan tersebar di seluruh Indonesia, dan sudah pasti ini berpengaruh terhadap biaya distribusi avtur.
Angkasa Pura sebagai BUMN yang mengelola bandara-bandara di Indonesia, harusnya menjadikan Pertamina sebagai mitra yang menunjang operasional utama Angkasa Pura yang dengan begitu Angkasa Pura harusnya membebaskan Pertamina dari kewajiban dan beban biaya apapun dalam mensupply avtur bagi pesawat pesawat yang ada.
Di sisi lain, katanya, publik juga perlu tahu bahwa harga avtur pernah tertinggi di bulan Januari 2014 sebesar Rp12.000/liter, dan ketika harga minyak dunia turun harga avtur ikut pula turun menjadi Rp 7.200/liter, atau turun sekitar 40%.
“Namun ternyata harga tiket penerbangan dalam negeri kok tidak juga ikut turun mengikuti harga avtur. Artinya, teori Menteri Perhubungan yang mengatakan harga tiket pesawat udara 50% mengacu kepada harga avtur, ternyata terbantahkan sendiri dengan kenyataan yang ada selama ini,” ujar Sofyano.
Jadi, seharusnya Menteri Perhubungan tegas pula menetapkan tarif penerbangan yang harusnya disesuaikan dengan harga avtur yang berlaku dan tidak percaya dengan informasi bahwa harga avtur pertamina mahal sebagai penyebab airline domestik tidak menurukan harga tiket penerbangannya.