Jakarta-TAMBANG.Beberapa pekan silam konsumen BBM Subsidi dipusingkan karena kesulitan mendapatkan premium murah tersebut. Ini terjadi karena Pertamina mengurangi pasokan ke SPBU dengan tujuan BBM Subsidi tetap tersedia sampai akhir tahun. Namun akhirnya BUMN energi ini menormalkan kembali pasokan BBM subsidi.
Menurut Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria langkah kebijakan Pertamina ini sudah tepat dan sesuai perintah BPH Migas. Tidak hanya itu, langkah ini hanya boleh dilakukan Pertamina ke pihak SPBU saja. Hubungan Pertamina dengan SPBU adalah B to B sehingga sah saja jika Pertamina hanya memasok bbm subsidi kepada penyalur atau distributornya sesuai kemampuannya atau sesuai apa yang ditetapkan Pertamina.
“Dengan demikian ketika Petamina berdasarkan perintah BPH Migas melakukan pengendalian dengan mengurangi jumlah pasokan bbm subsidi menurut saya, sudah tepat,”tandas Sofyano. Ketika menetapkan kuota bbm subsidi, Pemerintah sudah menghitung besaran kebutuhan bbm subsidi dari setiap Provinsi,kabupaten dan kota, dengan data jumlah kendaraan yang beroperasi di daerah tersebut ditambah dengan data pasokan pada tahun-tahun sebelumnya.
Sebut saja DKI Jakarta yang jumlah kendaraannya tertinggi dibanding propinsi atau daerah lainnya tentu alokasi bbmnya pun terbesar pula. “Ketika terjadi masalah dengan adanya antrian BBM di daerah-daerah lain , yang memancing pendapat terbuka dari beberapa petinggi di negeri ini, yang mengkritik dan nyaris menyudutkan kinerja distribusi bbm subsidi yang dilakukan BUMN Pertamina, maka menurut saya, pendapat petinggi itu terkesan sebagai sikap “buang badan” dari keterkaitannya dengan kebijakan Pemerintah itu sendiri,”ungkap Pengamat energi ini.
Membedakan besaran pengurangan pasokan antara satu daerah dengan daerah lain dan atau antara satu SPBU dengan SPBU lain pasti akan melahirkan masalah tersendiri dan juga berpotensi menimbulkan gejolak sosial terkait persamaan hak dan keadilan. “Harusnya tidak ada pernyataan terbuka dari petinggi negeri yang malah menunjukkan ketidakkompakan pejabat dalam menjalankan suatu kebijakan”terang Sofyano.
Ketika Pemerintah apalagi Pertamina melakukan pembatasan jumlah distribusi bbm subsidi kepada masyarakat, jelas memerlukan payung atau dasar hukum tertulis yang jelas dan tegas , yang untuk hal ini setidaknya berupa Peraturan Menteri ESDM. Karenanya, menurut Sofyano, adalah salah jika ada spbu yang membatasi penjualan bbm ke masyarakat sepanjang masyarakat membeli bbm hanya untuk keperluan bahan bakar bagi kendaraan bermotornya dan dalam jumlah sesuai kapasitas tangki bbm kendaraan bermotornya.
Tidak hanya itu, menurutnya Pemerintah juga harus menyadari bahwa kebutuhan masyarakat terhadap besaran (volume) bagi kebutuhannya masing masing tidak mungkin bisa mereka paksakan untuk dibatasi apalagi dikaitkan dengan kebijakan pemerintah. Sebagai contoh Jika masyarakat memerlukan bbm sebesar 2 liter perhari, maka mereka akan berusaha mendapatkan bbm sebanyak itu pula.
Jika Pemerintah melakukan pengendalian karena terkait tidak tersedianya anggaran pemerintah untuk mensubsidi bbm yang dibeli masyarakat yang diatas kuota yang ditetapkan Pemerintah, maka disinilah Pemerintah diuji kemampuannya. “Pemerintah yang hebat dan cerdas, adalah Pemerintah yang mampu mengatasi setiap persoalan yang dihadapinya tanpa mengorbankan keberadaan dan kepentingan rakyatnya”terang Sofyano.
Jika karena masalah tidak tersediannya anggaran pemerintah untuk membayar over kuota bbm subsidi, akhirnya Pemerintah harus mengabaikan kepentingan rakyatnya , maka Pemerintah itu gagal menjadi Pemerintah yang diimpikan oleh Rakyat yang mampu memenuhi hajat hidup dan kebutuhan rakyatnya.
Hal yang teramat penting untuk dipertanyakan adalah ketika Pemerintah menetapkan besaran kuota bbm bersubsidi pada APBN untuk tahun 2014 sebesar 48jt KL, ternyata kemudian merevisi dengan mengurangi besaran kuota bbm subsidi menjadi 46jt KL pada APBN-P.
Langkah ini sebenarnya menunjukkan Pemerintah tidak mampu menghitung volume bbm subsidi yang dibutuhkan masyarakat dengan benar dan akurat, sehingga harus mengkoreksi kuota yang telah disusun dan ditetapkan Pemerintah itu sendiri.
Kemudian jika Pemerintah benar dalam menghitung besaran kuota yang ditetapkan dalam APBNP sebesar 46 juta KL di pertengahan tahun 2014 ini, untuk apa Pemerintah harus sampai dan terkesan memaksakan melakukan pengendalian bbm subsidi. Dan ketidakmampuan Pemerintah dalam menghitung besaran kuota akan lebih bisa dibuktikan publik, jika nantinya pada november dan desember 2014 ternyata realisasi kebutuhan bbm subsidi akan diatas kuota 46jt KL tersebut. Kita tunggu dan lihat saja nanti.