Jakarta, TAMBANG – Ekonom Faisal Basri menyayangkan langkah pemerintah, dalam proses divestasi 51 persen saham PT. Freeport Indonesia. Faisal menyebutkan, langkah yang dilakukan pemerintah tidak ekonomis.
“Kalau saya punya uang USD5 miliar, saya akan buka opsi baru. Kan Freeport sudah mengembalikan 120 ribu hektar. Kenapa kita enggak kembangkan dari nol yang green flied (lahan hijau),” kata Ekonom Faisal Basri saat ditemui di Hotel JS Luwamsa, Jakarta (15/5).
Maksud Faisal, angka USD5 miliar merupakan kalkulasi kasar dari harga 51 persen saham Freeport. Di mana asumsi harga 40 persen Participating Interest (PI) milik Rio Tinto di Tambang Grassberg dibanderol USD3,6 miliyar oleh Morgan Stanley.
Rencananya, jika negosiasi pemerintah dengan Rio Tinto soal PI sebesar 41 persen itu berlangsung lancar, maka PI akan dikonversi menjadi saham pemerintah di tambang Grassberg.
Uang senilai USD5 miliar itu, menurut Faisal, lebih baik digunakan untuk eksplorasi lahan hijau, hasil penciutan dari eksplorasi Freeport yang sudah diserahkan kepada pemerintah. Luas lahan hijau tersebut mencapai 120 ribu hektar. Saat ini, cakupan wilayah tambang Grassberg hanya seluas 90 ribu hektar.
Kondisi ini akan semakin tidak ekonomis dengan melihat puing-puing tambang Grassberg yang open pit sudah habis. Sehingga penggalian akan semakin memakan biaya besar nantinya.
“Penggaliannya susah, open pit sudah habis. (kepemilikan sahamnya) 51 persen pula. Kalau (mengerjakan) green field bisa 100 persen (kepemilikan) sahamnya,” ujar Faisal.
Selain itu, PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) selaku wakil pemerintah yang bertugas menuntaskan divestasi, ketika berhasil memiliki mayoritas saham Freeport, ia akan memiliki kewajiban membangun smelter. Kewajiban ini tentu akan menjadi beban tersendiri bagi Inalum.