Jakarta,TAMBANG, Salah satu masalah yang masih mengganjal proses transisi Blok Rokan dari Chevron Pacific Indonesia ke Pertamina Hulu Rokan terkait pasokan listrik. padahal alih kelola akan dilakukan pada tanggal 9 Agustus 2021. “Setelah sebelumnya ada masalah terkait EOR, kini muncul masalah baru lagi soal kelistrikan,”terang Direktur Energy Watch Mamit Setiawan.
Sebagaimana diketahui PT Pertamina, melalui anak usahanya, Pertamina Hulu Rokan (PHR) pada 1 Februari 2021 telah menandatangani perjanjian jual beli listrik dan uap dengan PLN. PLN mengajukan 2 opsi terkait perjanjian ini yaitu jangka pendek sampai tahun 2024 mereka harus membangun jalur transmisi dan distribusi. Hal ini disebabkan, Chevron selama ini untuk listrik dan uap menyewa dari PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) sejak tahun 1998.
Sementara kepemilikan MCTN ternyata 95% dimiliki oleh Chevron Standard Limited dan 5% oleh Nusagalih Nusantara. Disinyalir bahwa Chevron Pacific Indonesia melakukan transfer pricing sejak tahun 2008. “Hal ini pernah diungkap oleh Badan Pemerika Keuangan (BPK) pada tahun 2006 dimana Chevron meminta kembali biaya sewa listrik dan steam ke pemerintah sejak melakukan kerjasama dengan MCTN. Proses ini berpotensi merugikan negara sebesar US$ 210 juta,”ungkap Mamit.
Mamit juga mengutip informasi dari SKK Migas bahwa setiap tahun Chevron membayar sebesar US$ 80 juta untuk sewa listrik dan steam kepada MCTN dan itu masuk ke dalam biaya yang ditagihkan kembali kepada pemerintah. “Hal ini jelas membuktikan bahwa aset MCTN harus dikembalikan kepada negara karena pemerintah sudah membayar semua biaya investasi yang dilakukan untuk membangun fasilitas listrik dan uap milik MCTN,”tandas Mamit.
Disisi lain, MCTN tidak pernah membayar sewa tanah kepada negara atas fasilitas yang mereka miliki sejak tahun 1998. Hal ini patut di duga ada kerugian negara karena lahan yang digunakan merupakan milik pemerintah Indonesia.
Permasalahan lain yang timbul terkait listrik dan uap untuk Blok Rokan adalah MCTN tidak mau memberikan aset yang mereka miliki kepada pemerintah. Mereka beranggapan ini bukan bagian dari biaya yang digantikan pemerintah kepada mereka, sehingga tidak bisa di serahkan kepada pemeritah. Melalui situasi tersebut dan kondisi dari PLN, MCTN melihat potensi besar keuntungan yang mereka dapatkan. Sebelum proses transisi berlangsung, mereka melalukan tender untuk pengelolaan aset MCTN di Blok Rokan.
Mereka meminta JP Morgan untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan dan keandalan aset mereka dalam menyediakan listrik dan uap.
Sebagai informasi, MCTN memiliki kapasitas listrik dan uap paling besar di Blok Rokan yaitu 270 MW dan 265 Barrel Stream Per Day (BPSD). Kapasitas sebesar 270 MW tersebut untuk mensuplai wilayah selatan Blok Rokan atau tepatnya di Minas. Sedangkan 265 BPSD digunakan untuk mensuplai wilayah utara atau Duri. Pemenuhan kebutuhan listrik dan uap yang lain di suplai oleh Pembangkit Listrik Central Duri Gas Turbin dan Minas Gas Turbin dengan kapasitas listrik 130 MW dan uap 70 BPSD.
Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh JP Morgan, didapatkan value bahwa aset MCTN masih bisa beroperasi untuk 40 tahun ke depan. “Penilaian ini masih sangat diragukan karena fasilitas MCTN sudah beroperasi sejak tahun 1998 dinilai layak beroperasi sampai 40 tabun ke depan. Penilaian ini sepertinya sebagai upaya pemanis dalam tender yang dilakuan oleh MCTN dan menaikan nilai dari aset yang dimiliki,”ungkap Mamit lagi.
pihak Chevron kata Mamit berharap para bidder akan memberikan penawaran tinggi karena aset masih mampu beroperasi selama 40 tahun. Jika harga terlalu tinggi, maka hanya perusahaan swasta dan perusahaan luar negeri yang bisa memenangkan lelang tersebut. “Dengan mahalnya harga yang di dapatkan, maka pemenang lelang akan menjual harga listrik dan juga uap tinggi kepada PLN jika PLN gagal memenangkan tender,”lanjut Mamit.
Secara otomatis menurutnya, PLN akan melalukan renegosiasi dengan PHR mengingat mereka sudah melakukan perjanjian jual beli dimana harga yang ditawarkan sudah ditentukan. Hal ini pasti akan mempengaruhi biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh PHR mengingat fasilitas milik MCTN merupakan penyupai terbesar listrik dan uap.
Belum lagi pertanyaan yang timbul dengan harga beli mereka yang sudah tinggi apakah pemenang lelang mau hanya disewa selama 3 tahun apalagi penilaian JP Morgan mereka masih bisa beroperasi selama 40 tahun. Berbeda cerita jika MCTN langsung menunjuk PLN dalam mengelola fasilitas milik MCTN dimana mereka akan melakukan sewa selama 3 tahun sampai mereka selesai membangun fasilitas transmisi dan distribusi di Blok Rokan.
Sesuai informasi, peserta lelang ini berasal dari 2 perusahaan lokal termasuk PLN dan 2 lagi perusahaan luar negeri. “Kita mesti waspada dan terus memantau perkembangan lelang yang dilakukan oleh MCTN sehingga negara tidak lagi dirugikan oleh mereka,”tandas Mamit.
MCTN bahkan sudah seharusnya menyerahkan aset yang mereka milik kepada pemerintah karena semua biaya pembangunan sudah di ganti oleh negara dengan skema cost recovery. Jadi, pelelangan yang sedang dilakukan oleh Chevron harus di batalkan. Pemerintah dalam hal Kementerian ESDM dan SKK Migas harus segera turun tangan dan menyelesaikan persoalan ini.
Menurut Mamit, jangan sampai Blok Rokan yang merupakan tulang punggung lifting minyak nasional terganggu operasinya karena permasalahan ini. Jangan sampai negara kalah oleh korporasi swasta yang berpotensi merugikan negara atas kegiatan mereka selama ini.
“Aparat penegak hukum harus turun tangan mengingat potensi kejahatan yang dapat merugikan negara selama proses sewa listrik dan uap yang telah dilakukan oleh Chevron Pacific Indonesia dengan MCTN. Jejak hitam Chevron di Indonesia harus diusut tuntas sebelum proses transisi dilakukan. Jangan sampai listrik Blok Rokan jadi keRokan,”pungkasnya.