Pemerintah hari ini sedianyanya akan mengumumkan kebijakan baru terkait subsidi BBM. Meski demikian dalam beberapa hari ini, Pemerintah terlihat bimbang dalam mengambil keputusan. Apakah mengikuti rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) secara utuh atau menerapkan rekomendasi dengan modifikasi. Atau mendengarkan masukan pihak lain diantaranya memberi kesempatan pada PT Pertamina memodernisasi kilangnya. Tujuannya agar BUMN energi tersebut mampu bersaing dari sisi volume produksi dan biayanya.
Namun melihat kecendrungan yang terjadi sepertinya Pemerintah akan memaksakan perubahan kebijakan pada 1 Januari 2015. Menurut Pengamat energi Sofyano Zakaria, meski belum dikaji secara komprehensif, kelihatannya Pemerintah telah mengambil arah secara gegabah diantaranya dengan mengeluarkan “gasoline based” dari JBT (Jenis BBM Tertentu), dan melepaskan ke mekanisme pasar seperti halnya Pertamax dan Pertamax Plus.
“Dengan demikian, JBT masih ada 2 jenis yakni minyak Tanah dan Minyak Solar. Solar (Gasoil) masih akan disubsidi, namun kemungkinan akan dilakukan dengan subsidi tetap, kurang lebih Rp. 1000,per liter,”tandas Sofyano.
Sofyano yang juga Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik (Puskepi) ketika subsidi bbm diberikan dalam bentuk Subsidi Tetap, maka hanya akan menguntungkan bagi masyarakat ketika harga minyak rendah seperti yang terjadi beberapa bulan terakhir. Namun ketika harga minyak kembali melambung setidaknya ke posisi diatas US$ 90/barel ditambah melemahnya Rupiah , maka rakyat harus pula membayar harga bbm diatas harga subsidi seperti yang berlaku selama ini.
Apalagi jika BBM subsidi telah ditetapkan Pemerintah dengan BBM RON 92, ini niscaya akan lebih memberatkan masyarakat. “Siapa pula yang berani menjamin bahwa harga minyak dunia tidak akan naik,”tanya Sofyano retoris.
Selain itu menghapus subsidi untuk BBM Premium RON 88 atau BBM RON 92, pada dasarnya pula melanggar UU Migas, karena sesuai Keputusan Mahkamah Konstitusi, Pemerintah tetap bertanggung jawab atas harga bbm bagi golongan masyarakat tertentu. “Keputusan MK tersebut adalah Keputusan final yang telah menghapus pasal tentang harga bbm sesuai dengan mekanisme pasar. Artinya jika hanya ingin mensubsidi solar, maka harus lebih dahulu merevisi Keputusan MK,”ungkap Sofyano.
Bahkan menurutnya jika Pemerintah masih tetap memaksakan kebijakan ini malah akan berisiko di “impeach”.
Selain itu, subsidi Tetap BBM bisa pula dimaknai publik, sebagai “Jebakan Batman”. Menguntungkan “Pemerintah” buat Selamanya, tetapi berpotensi memberatkan masyarakat dan juga berpotensi membingungkan masyarakat.
Menurut Sofyano, Pemerintah selama ini, terkesan terjebak pada “besaran” subsidi. Padahal, sejatinya, besaran subsidi sangat bergantung pada volume atau kuota bbm subsidi yang pada nyatanya pula selalu meningkat dari tahun ke tahun tanpa bisa di “cegah” oleh Pemerintah.
Pemerintah dengan mengacu kepada UU Nomor 22 tahun 2001 atau UU Migas, bisa membuat keputusan dengan menetapkan Siapa yang bisa dinyatakan sebagai Golongan Masyarakat Tertentu pada UU Migas , yang berhak atas harga bbm yang disubsidi. Namun kenyataannya Pemerintah sejak masa reformasi hanya mampu berteriak saja bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran.
Pemerintah juga harusnya tidak menutup mata terhadap pengguna bbm subsidi yang nyatanya, memang bbm subsidi itu bisa dinikmati bebas oleh siapapun juga yang memiliki kendaraaan bermotor jenis dan kelas apapun juga. Sikap Ini jelas melanggar UU Migas khususnya Pasal 28.
Tidak hanya itu penyusunan dan penetapan subsidi bbm pada APBN 2015 pun, jelas tidak ditetapkan dengan pola Subsidi Tetap. Ini berarti ketika Pemerintah membuat kebijakan adanya Subsidi Tetap atas BBM, akan memancing reaksi penolakan dari para wakil rakyat. Dengan demikian sebenarnya kebijakan subsidi Tetap ini belumlah bisa dijalankan pada Tahun anggaran 2015.