Jakarta, TAMBANG – Penandatangan Head of Agreement (HOA) antara PT Freeport-McMoran dengan PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), terkait penerapan divestasi saham 51 persen. Mengundang kritik para pengamat terkait opini yang terbangun, dalam proses yang sudah berlarut-larut ini.
Pakar Hukum Sumber Daya Alam Universitas Tarumanegara (Untar), Ahmad Redi menegaskan, divestasi PT Freeport Indonesia belum tuntas. Head of Agreement (HOA) yang dilakukan pemerintah kemarin, Kamis (12/7), masih membutuhkan tahapan detail berikutnya.
“Jangan menjadikan HOA seolah-olah kita sudah memiliki saham Freeport dan telah terjadi jual beli saham,” ungkap Redi kepada tambang.co.id, Jumat (13/7).
Menurutnya, HoA itu baru perjanjian pendahuluan. Sebagai perjanjian pendahuluan, ia belum memiliki kekuatan hukum mengikat, karena perlu perjanjian teknis lainnya yang mengoperasionalisasi HoA, salah satunya adalah perjanjian jual beli saham.
Untuk melakukan jual beli saham, ada mekanisme teknis lainnya di internal perusahaan, misal adanya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), proses teknis akuisisi Participating Interest (PI) Rio Tinto menjadi saham, dan lain-lain.
“Proses eksekusinya masih memerlukan tahapan, apalagi isi HOA ini belum dibuka ke publik sehingga publik tidak mengetahui apa isinya,” beber Redi.
Sementara itu, Ekonom Senior Indef, Dradjad Wibowo, menegaskan kritiknya terhadap publikasi pemberiataan Freport. Menurutnya, pengumuman hasil negosiasi dengan Freeport terlalu berlebihan.
Menurut Dradjad, apakah Freeport sudah direbut kembali seperti klaim bombastis yang beredar? Menurutnya belum. Transaksi ini masih jauh dari tuntas. Ia mendengar pihak FCX dan Rio Tinto menyebut, masih ada isu-isu besar yang belum disepakati.
Menurut Freeport isu besar itu adalah: (a) hak jangka panjang FCX di FI hingga tahun 2041, (b) butir-butir yang menjamin FCX tetap memegang kontrol operasional atas FI, meskipun tidak menjadi pemegang saham mayoritas, dan (c) kesepakatan tentang isu lingkungan hidup, termasuk tentang limbah tailing.
“Freeport belum ‘direbut kembali. Transaksi belum terjadi karena ada isu-isu besar yang belum tuntas. Itu pun Indonesia nerimo saja harga yang dipatok oleh Rio Tinto. Jika transaksinya terwujud nanti, Indonesia harus membayar Rp 55 triliun. Tapi, FCX ngotot kontrol operasional tetap mereka yang pegang,” kata Dradjad.