Oleh Ide Bagus Arief*
Untuk memulai tulisan ini, sebagai pembuka ada baiknya mengingat perkataan Bung Karno: beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncang dunia. Sampai saat ini pamor pemuda belum luntur.
Kendati hanya bersenjata gagasan-gagasan, meski terkadang juga bersenjatakan tongkat dan batu, perjuangan pemuda selalu memantik kepeloporan. Demikian mendiang Ben Anderson tulis dalam risalah buku Revolusi Pemuda.
Dan, saat ini baik perkataan Soekarno maupun hasil analisa Ben, tetap mempunyai kontekstualisasinya. Aktualisasi gerakan pemuda harus menyelesaikan segenap persoalan bangsa, khususnya yang terkait kedaulatan negara dan amanat konstitusi.
Barisan kaum pemuda membentang sepanjang horison khatulistiwa. Energi dan tenaga yang dimiliki pemuda merupakan spiritualitas yang membucah dari penindasan yang diwariskan turun temurun.
Berkaitan dengan itu, kasus yang mengemuka belakangan adalah polemik keberadaan Freeport. Semakin ke sini, Freeport serupa teror bagi kedaulatan negara maupun ketentuan konstitusi.
Lihatlah bagaimana sang pengusaha yang mewakili Freeport berani berkata; “kalau Freeport terganggu, Papua bakal goncang,” demikian pengusaha tersebut ungkapkan saat kunjungan ke salah satu media ternama di Indonesia.
Apalagi, Freeport pun telah sukses membiakan akar korupsi di lingkaran elit. Begitulah yang tercermin dari rekaman pembicaraan antara (mantan) Ketua DPR RI dari partai Gokar Setyo Novanto, mafia migas Riza Chalid dengan Direktur Freeport Maruf Syamsudin. Ibarat ada gula ada semut, makelar kebijakan berkeliaran saat kepentingan modal besar ingin menyisihkan kepentingan nasional.
Di tengah arus tersebut, maka sepatutnya muncul gerakan pemuda yang hakikatnya tak punya kepentingan selain menegakan kedaulatan konstitusional. Apalagi, pemuda selaku pemantik perubahan, relatif tak ternodai kekotoran elit politik yang berkuasa.
Sejalan dengan itu, tuntutan maksimal yang direstui secara konstitusional; Nasionalisasi Freeport Tanpa Syarat jadi bekal semangat gerakan pemuda. Meski pada akhirnya, lagi-lagi, seiring tuntutan yang bernuansa menjunjung kedaulatan itu mengemuka, politik teror pun dilancarkan.
Kabar terakhir pun disiarkan media, jelang pergantian tahun kemarin, terdapat rentetan penembakan di Papua yang kali ini menimpa pesawat yang ditumpangi Kapolda Papua. Belum lagi disusul dengan terdaftarnya negara Papua di PBB.
Sepertinya tak salah menyebutkan bahwa (isu) Freeport adalah teror kedaulatan. Penyebutan itupun dapat dirunut dari dinamika antara Freeport, Papua, dan Indonesia di saban waktu ketika tuntutan nasionalisasi mengemuka.
Sejarah Teror Freeport
Sejak Freeport lekat dengan OPM. Stigma terhadap masyarakat Papua yang dilabeli OPM membuat Freeport selalu aman dari tuntutan masyarakat Papua sendiri yang mengingkan PT. Freeport angkat kaki dari tanah Papua. Tiap kali terjadi gejolak di bawah, Freeport seperti diungkapkan perwakilan perusahaannya itu, selalu membuat berbagai skenario pengalihan isu.
Demikian halnya ketika Presiden Gus Dur berkeinginan mengevaluasi Kontrak Karya Freeport. Segera saja terjadi kegaduhan politik yang berujung pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan.
Begitu juga saat perlawanan terhadap Freeport merebak seantero Indonesia tahun 2006, tuntutan nasionalisasi dan penutupan Freeport pun segera dialihkan dengan berita pemberian suaka oleh Australia pada 42 orang Papua.
Tahun 2009, saat buruh Freeport melakukan aski mogok, perhatian nasional pun dialihkan ke peristiwa pembubaran paksa deklarasi negara federal di lapangan Zakeus Jayapura yang berujung kerusuhan berdarah.
Saat buruh Freeport menuntut kenaikan gaji yang memakan korban jiwa tahun 2011 yang menyulut gerakan nasionalisasi Freeport pun ditutup pemberitaannya, dikaburkan substansi persoalannya.
Selain mengeruk keayaan alam Papua, pada intinya Freeport juga memanfaatkan Papua sebagai tameng untuk melindungi kepentingan bisnisnya. Mereka akan berlindung di balik isu separatis, GPK, GSP, OTK dan perang suku.
Di level (media) nasional Freeport akan bersembunnyi di balik isu papa minta saham, Papua minta merdeka atau isu merebaknya bakso daging tikus. Dengan membuat peristiwa berbeda atau dengan membuat Papua bergejolak, Freeport berhasil lari dari kejaran rakyat Indonesia. Selalu begitu.
Tetapi kini rakyat tak bisa dibohongi. Rakyat kenyang dengan skenario teror kedaulatan tersebut. Rakyat sudah hapal taktik dan strategi pengalihan isu.
Sejak Orba
Mari bersama-sama menengok ke belakang, agar ingatan kolektif kita utuh dan jernih. Irian Barat, itulah nama yang dianugerahkan Soekarno setelah Papua terbebas dari aneksasi Belanda tahun 1963. Tetapi setelah meresmikan Freeport, Soeharto mengganti nama provinsi paling timur itu menjadi Irian Jaya.
Sejak berintegrasi dengan Indonesia, orang Papua belum pernah merasakan bulan madu dengan Republik. Karena sesaat setelah menghirup udara kemerdekaan 1963, ketika integrasi baru berumur lima tahun, masyarakat Papua harus menelan kenyataan pahit, karena pada tahun 1967 Freeport masuk dan diberikan izin mengeksploitasi kekayaan alam Papua.
Setelah Freeport dengan pemerintah orde baru meneken Kontrak Karya pada 7 April 1967, tak lama kemudian mucul isu GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Tentara dan aparat keamanan pun diterjunkan.
Irian Jaya ditetapkan sebagai wilayah operasi militer. GPK dijadikan instrumen militer untuk melegalisasi pembungkaman suara masyarakat Papua yang menolak Freeport.
Dekolonialisasi yang dilakukan Freeport dan negara orde baru terhadap masyarakat Papua di Irian Jaya terus berlangsung selama pemerintahan Soeharto. Setelah disepakati Kontrak karya II pada Desember 1991, di internal Freeport mencium massifnya gerakan anti Freeport yang dimotori masyarakat Papua di sekitar wilayah eksplorasi.
Untuk itu, pada tahun 1995 dilakukanlah penelitian terselubung dengan nama ‘Ekspedisi Lorenz’ yang dibiayai Inggris dan Australia. Tujuannya menemukan dan menggembosi simpul gerakan perlawanan rakyat Papua. Setelah itu, berdalih pembebasan tim Ekspedisi Lorenz yang disandera, Kopassus yang dikomandoi Prabowo Soebianto diterjunkan untuk melakukan operasi militer selama 130 hari di Mapenduma.
Skenario Freeport berhasil, tuntutan utama masyarakat Papua yang ingin Freeport hengkang tenggelam, tertutup isu penyanderaan.
Persekutuan Jahat
Rusaknya tatanan ekonomi politik Indonesia salah satunya disebabkan oleh persekongkolan aktor-aktor negara dan elit politik yang menjual kekayaan Republik. Mencuatnya isu Freeport dan drama MKD lalu mempertontonkan dengan telanjang betapa persekutuan jahat itu telanjang didepan kita.
Persekutuan jahat telah berlangsung sejak lama. Selain mewariskan Freeport, orde baru juga mewariskan aktor-aktor pemburu rente (buaya putih) yang piawai dan berjaringan kuat. Mereka beroperasi sebagai kapitalis birokrat atau menjadi kapitalis komprador yang berselingkuh dengan modal asing.
Sudirman Said, Setyo Novanto dan Riza Chalid hanya sejumlah kecil “persekutuan buaya putih” yang terlanjur muncul ke permukaan. Padahal biasanya mereka beroperasi dari balik layar, memalui kontrol APBN, menguasai sektor-sektor strategis serta mengendalikan kebijakan pemerintah.
Kaum pemburu rente inilah yang sesungguhnya menunggangi tafsir Pasal 34 UUD 1945, hidup dan keberadaannya dipelihara oleh negara. Negara tidak akan menelantarkan mereka, misalnya dengan mendisiplinkan kebijakan ekonomi-politik sesuai Pancasila.
Karena siapapun yang berkuasa di negara ini memiliki “hutang” ke mereka dan dibayar sebagai kredit politik. Itulah mengapa aset Indonesia seperti Freeport yang memiliki landasan konstitusional pun berani mereka “goreng”.
Di sisi seberang, belum lama ini gerakan pemuda yang mengatasnamakan Front Nasionalisasi Freeport mencetuskan tuntutan #CloseFreeport. Aksi nasional serempak telah dilakukan, di dalamnya terdapat banyak pemuda Papua yang mencintai republik dan menginginkan kedaulatan dengan menuntut nasionalisasi Freeport.
Dengan kenyataan tersebut, sudah seyogyanya bila presiden Joko Widodo lebih berani melangkah, mewakafkan kekuasaannya untuk kepentingan rakyat. Membuktikan Nawacita dan Tri Sakti Bung Karno sebagai arus balik kebudayaan bangsa Indonesia. Dan, diluar aspek ekonomi-politik, Nasionalisasi Freeport 100% tanpa syarat dapat menjadi lompatan budaya yang dapat mengemansipasi mental bangsa Indonesia. Mengganti mental inlander jadi Orang Indonesia sejati yang merdeka lahir dan bathinnya.
Diedit oleh Vicharius DJ
*Penulis adalah Koordinator Nasional Front Nasionalisasi Freeport
setuju