Jakarta, TAMBANG – Pemerintah terus berupaya memperluas penggunaan biodiesel sebagai campuran pada Bahan Bakar Minyak (BBM). Selain mengurangi ketergantungan impor, penggunaan bahan bakar ramah lingkungan ini juga dinilai dapat mengurangi tingkat polusi udara.
Setelah sukses dengan program pencampuran sawit pada BBM sebesar 20 persen atau B20, Pemerintah kini menyiapkan agenda peningkatan ke arah B30. Komposisi campuran sawit bakal dinaikkan menjadi 30 persen.
Beberapa waktu lalu, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan road test B30 pada sejumlah kendaraan di Gedung Kementerian ESDM.
Program tersebut memperoleh apresiasi dari organisasi publik yang aktif mendorong transisi ke energi bersih, Koaksi Indonesia. Direktur Eksekutif Koaksi, Syarifah Nuly Nazlia mengungkapkan, pihaknya berharap agar pemerintahan yang baru dapat melanjutkan program B30.
Seruan konsistensi kebijakan ini disampaikan dalam rangka mengantisipasi perubahan program pasca penyusunan kabinet baru di bawah pimpinan presiden terpilih Joko Widodo.
Salah satu upaya Koaksi dalam mendorong konsistensi itu, dilakukan dengan menggandeng insan pers untuk terus menyerukan tentang pentingnya keberlanjutan agenda biodiesel.
Untuk itu, pada hari Rabu (31/7), Koaksi menggelar lokakarya jurnalis dengan tema “Menuju Biodiesel Berkelanjutan dalam Periode Pemerintahan Baru”.
“Kita sadar sekali, kita tidak bisa kerja sendiri, kita harus juga mengajak pihak-pihak lain untuk turut berpartisipasi secara aktif untuk mencapai biodiesel berkelanjutan di Indonesia,” ungkapnya.
Sebagai informasi, acara lokakarya itu dihadiri oleh Asisten Deputi Produktivitas Energi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Andi Novianto, Climate Energy Manager WWF Indonesia, Indra Sari Wardhani, dan Manajer Riset dan pengembangan Koaksi Indonesia, Azis Kurniawan.
Road test B30 yang dilakukan oleh Pemerintah sejauh ini masih mencakup pada kendaraan penumpang dan kendaraan komersial. Nantinya, penggunaan B30 akan dilakukan pada kereta api, angkutan laut, dan merembet ke sektor pertambangan. Alat berat di tambang bakal diwajibkan memakai B30.
Tantangan B30 Di Sektor Tambang
Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo), Bambang Tjahjono menuturkan, pihaknya punya beberapa catatan soal kekurangan B20 khusus sektor tambang, yang sebaiknya diperbaiki terlebih dahulu sebelum ditingkatkan menjadi B30.
Pertama, B20 dinilai membuat kendaraan jadi lebih boros sekitar 2-5 persen. Kedua, masa penyimpanan biodiesel disinyalir masih relatif singkat, hanya sekitar 3 bulan. Ketiga, sifat biodiesel yang mudah menyerap air dari udara bebas, berpotensi lebih tinggi menyebabkan oksidasi dan menimbulkan korosi pada mesin.
Selama ini, kontraktor menyiasati hal tersebut dengan melakukan pembersihan tangki secara rutin. Meski harus melakukan pekerjaan ekstra untuk memperhatian kebersihan tangki, cara ini dianggap yang terbaik untuk tetap menjaga mesin-mesin pada alat berat.
“Dari tangki main tank, tangki truk, yang suplai dan tangki dari alat berat masing-masing semuanya harus rutin dikuras. Extra job extra cost, tetapi gak ada pilihan lain,” kata Bambang.
Di sudut berbeda, Komisi Teknik Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Abdul Rochim menyatakan, beberapa masalah yang terjadi saat penerapan B20 sejauh ini sudah bisa diatasi.
Menurutnya, masalah yang muncul lebih banyak karena pengguna tidak memiliki pengetahuan yang baik soal tata cara penyimpanan biodiesel.
“Jadi masalah yang muncul itu kan sudah teridentifikasi dengan bagus. Kita juga sudah tahu solusinya, kita juga sudah tahu bagaimana menanganinya. Cuma masalahnya ternyata pelakunya sendiri tidak well inform,” ujar Rochim.
Khusus untuk biodiesel yang akan digunakan di pertambangan, Rochim selaku tim penetapan Standar Nasional Indonesia pada biodiesel, telah merumuskan sejumlah rekomendasi.
Pada September tahun lalu, Tim Teknis EBTKE mengeluarkan spesifikasi revisi untuk Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang akan digunakan untuk B20 dengan menambah sejumlah parameter. Di antaranya parameter kadar air. Rochim dan rekan-rekannya telah merevisi kadar air pada B20 menjadi 500 ppm.
“Jadi kadar air itu metode pengujiannya diubah supaya produsen itu clear, kadar airnya clear gak bias. Karena kemarin itu ada kesalahan metode ukur, nah itu diubah dikasih ambang batas yang sesuai rekomendasi dari pabrikan-pabrikan maksimum 500 ppm itu sesuai B20,” ungkap Rochim.
Kemudian Cold Filter Plugging Point (CFPP). Menanggapi keluhan yang diterima Tim Teknis EBTKE, karena lokasi-lokasi tambang yang ada di daerah terpencil memiliki suhu udara yang dingin, maka B20 disarankan ditambahkan CFPP.
“Harusnya ini yang per September (2018) ke sini seharusnya sudah ada improvement bahan bakar. Harusnya sih, harusnya ya efeknya positif terhadap engine-engine tambang,” lanjut pria lulusan Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh November itu.
Soal rencana penerapan B30, Rochim bersama dengan timnya telah menyiapkan standar yang lebih ketat soal kualitas bahan bakar atau solar yang hendak dicampur dengan sawit.
Selain itu, Tim Teknis EBTKE juga menaikkan ketahanan oksidasi pada B30 menjadi 10 jam, dari B20 yang sebelumnya hanya 8 jam. Harapannya, efek penyimpanan B30 lebih bagus dari pada B20.
“Kemarin dengan 8 jam itu bisa 3 bulan penyimpanan, mungkin ini harusnya sih dengan dinaikkan ketahanan oksidasinya bisa nambah,” kata Rochim.
Untuk penggunaan B30 di pertambangan, Rochim mengungkapkan, ada campuran tambahan yang sama sekali baru, yaitu spesifikasi total kontaminan. Fungsi total kontaminan ini salah satunya untuk menahan kontaminasi debu pada bahan bakar saat proses pemindahan (handling). Pada B20, tidak ada campuran total kontaminan.
“Harapannya sih dengan menambahkan spesifikasi itu kekhawatiran teman-teman di tambang bisa teratasi,” pungkasnya.