Jakarta-TAMBANG. Pemerintah telah menandatangani Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL) lewat Nomor 1415 K/20/MEM/2017 tanggal 29 Maret, tentang Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) untuk periode 2017 – 2026. RUPTL ini banyak ditunggu termasuk oleh pelaku usaha seperti disampaikan Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana.
“Saya pikir RUPTL ini adalah satu dokumen yang ditunggu-tunggu oleh para stakeholder dan digunakan sebagai panduan pengembangan ketenagalistrikan,” kata Rida.
Dalam RUTPL ini tertulis bahwa pembangkit listrik dari energi air, panas bumi dan EBT lainnya diharapkan bisa mencapai 22,5% dari keseluruhan kebutuhan listrik pada tahun 2025. Hal ini sejalan dengan target di Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Pembangkit Batubara di tahun 2025 ditargetkan 50% dari total energi primer, Gas 26% dan BBM turun dan mencapai 0,5%. Sementara, target pembangunan jumlah pembangkit listrik dalam RUPTL 2017-2026 adalah sebesar 125 GW di tahun 2025.
Menteri ESDM Ignasius Jonan mendorong pemanfaatan energi primen. Oleh karenanya jika suatu pulau memiliki potensi energi primer, maka energi primer itulah yang lebih diutamakan untuk dipakai sebagai pembangkit tenaga listrik. Dengan menggunakan cadangan energi primer yang tersedia, diharapkan tarif listrik yang dihasilkan nantinya bisa kompetitif.
Hal lain yang juga ditegaskan Jonan bahwa kerja sama antara Independent Power Producer (IPP) dan PT PLN (Persero) dibuat dengan skema Delivery Or Pay. Mekanisme Delivery Or Pay adalah kebalikan dari Take Or Pay. Jika Take Or Pay mewajibkan PLN menyerap listrik dari IPP dalam jumlah minimal sekian persen dari kapasitas total pembangkit listrik.
Sementara Delivery Or Pay mewajibkan IPP memasok listrik ke PLN dalam jumlah tertentu. Sehingga apabila pembangkit mengalami gangguan (kerusakan) karena kesalahan IPP, misalnya karena kualitas mesin pembangkit, maka IPP harus membayar denda kepada PLN sesuai dengan kerugian yang dialami oleh PLN.
Sementara terkait program 35.000 MW, Jonan menjelaskan bahwa pada saat pemerintah membuat program tersebut, asumsi pertumbuhan ekonomi adalah 8%, akan tetapi kenyatannya tidak sampai 8%. Ditahun 2015 itu perkembangan ekonomi 4.8%, 2016 5%, tahun ini ekspektasinya 5.2%, tahun depan 5.6%.