Sibolga, TAMBANG- Pemerintah menghimbau para nelayan di Sibolga, Sumatera Utara, agar tidak membeli BBM di penyalur ilegal. Selain soal harganya lebih mahal, BBM yang dijual penyalur tidak resmi juga berpotensi tidak memenuhi standar baku, bahkan bisa jadi BBM tersebut dioplos.
“Pengecer-pengecer ilegal, yang pakai logo Petamina, (alias) Pertamini itu bukan mitra Pertamina. Di Sibolga banyak. Kita khawatir karena (Pertamini) tidak terstandarisasi, itu tidak resmi,” ungkap Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Gus Irawan Pasaribu saat menjadi narasumber pada acara ‘Sosialisasi Implementasi Sub Penyalur’ di Kota Sibolga, Senin (13/8).
Dalam kesempatan itu, Gus Irawan menjelaskan soal program BBM Satu Harga. Program tersebut dibuat oleh pemerintah agar para nelayan bisa menikmati BBM dengan harga yang layak. Mereka dapat memperoleh BBM Satu Harga melalui sub-sub penyalur resmi dari pemerintah.
“Saya berharap kehadiran sub penyalur resmi ini bisa berperan. Ia legal dan memenuhi standar, safety terjamin,” ujar Gus Irawan.
Asal tahu saja, realisasi BBM Satu Harga ini melibatkan banyak pihak dari lembaga pemerintahan, termasuk juga Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Acara sosialisasi tersebut merupakan agenda yang digagas oleh BPH Migas.
Saat memberi sambutan, Komite BPH Migas, Sumihar Panjaitan bilang, pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin ketersediaan BBM di seluruh Indonesia. Selain ketersediaan, pemerintah juga punya tugas mengentas jurang harga BBM di wilayah-wilayah terpencil.
“Kita mendorong percepatan penyediaan BBM, mengurangi keterbatasan, dan mengawasi penetapan ongkos angkut yang wajar yang ditetapkan oleh Pemda,” beber Sumihar.
Sebelum pemberlakuan BBM Satu Harga, masyarakat Pulau Telo, yang termasuk wilayah terpencil di Sumatera Utara, harus membeli BBM jenis Premium dengan harga di atas Rp10 ribu per liter.
Setelah BPH Migas meresmikan sub-sub penyalur, Premium bisa diakses dengan harga Rp 6.450 per liter, dan Solar Rp5.150.