Jakarta-TAMBANG. Masyarakat sipil mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Energi Sumber Daya Mineral melalui Direktorat Jenderal Mineral (Minerba) untuk menindaklanjuti sejumlah rekomendasi dari hasil upaya pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui program koordinasi dan supervisi di sektor minerba. Hal itu karena, masih minimnya capaian oleh Ditjen Minerba atas komitmen Korsup Minerba terutama berkaitan soal penertiban izin tambang, kewajiban keuangan, pengawasan produksi dan penjualan masih jauh dari yang diharapkan.
Kepala Unit Kajian WALHI, Pius Ginting menyatakan mengapresiasi langkah KPK bersama Pemerintah untuk menertibkan izin tambang bermasalah. Namun, hingga awal Agustus 2015 lalu, izin usaha pertambangan (IUP) yang belum berstatus clear and clean (CnC) masih sebanyak 4.563 atau 42% dari IUP yang tercatat di ditjen minerba yakni sebanyak 10.827 IUP. Dirjen Minerba berjanji sebelumnya di bulan Juli 2015 lalu, jika masih ada IUP yang belum CnC mereka akan mengambil alih untuk mencabutnya. Namun, kami tidak melihat adanya kemauan politik yang kuat dari Dirjen Minerba untuk menindak IUP non-CnC.
“Di sisi lain, karena masih maraknya praktik IUP yang non-CnC maka diketahui sebanyak enam juta hektar izin pertambangan berada di kawasan hutan konservasi dan lindung-yang notabene akan mengganggu stabilitas lingkungan hidup. Sejauh ini berdasarkan data terakhir per Agustus 2015 terdapat 1.087 IUP yang sudah dicabut,” tutur Pius, Selasa (22/9).
Namun, lanjut Pius kebanyakan izin yang dicabut, 95%, merupakan izin eksplorasi, bukan produksi. Sehingga kerusakan lingkungan terus terjadi di sekitar pertambangan batubara, dan negara tidak mendapatkan keuntungan banyak, terlebih harga batubara saat ini jatuh. Karenanya, dia mengharapkan pemerintah melakukan pencabutkan semua izin tambang batubara yang tidak clear and clean, merusakan lingkungan warga, dan berkonflik dengan warga.
Pengkampanye JATAM, Ki Bagus Hadi Kusuma mengatakan tidak hanya bermasalah secara administratif, kontrol terhadap ribuan izin pertambangan ini juga sangat minim, baik dalam masalah pencemaran lingkungan, konflik, hingga keselamatan warga di sekitar tambang. Di Samarinda, sejak 2011 hingga saat ini, setidaknya sudah ada 11 anak yang tenggelam dalam lubang tambang batubara. Lubang-lubang bekas tambang tersebut dibiarkan menganga begitu saja tanpa direklamasi. Jelas bahwa kontrol dari pemerintah daerah sendiri tidak maksimal dilaksanakan, mengingat kewajiban reklamasi yang tidak dijalankan oleh perusahaan tambang. Bahkan beberapa perusahaan pemilik lubang tambang maut tersebut berstatus Non-CNC, Graha Benua Etam salah satunya.
“Kami mendesak pada Pemerintah untuk segera mencabut IUP yang Non-CNC. Langkah awal ini adalah syarat untuk memperbaiki tata kelola pertambangan di Indonesia,” ucap Ki Bagus. “Dengan pencabutan ribuan IUP Non-CNC ini, ke depan Negara akan lebih mudah melakukan kontrol dan penindakan di lapangan,” pungkasnya.
Dari sisi kewajiban keuangan, berdasarkan data dari Ditjen Pajak, periode pajak 2010-2012 ternyata IUP yang tercatat baru sebanyak 7.834 IUP, dari jumlah itu yag memiliki NPWP sekitar 76% atau 5.984 IUP. Namun, tidak semua yang memilki NPWP itu membayar pajak, karena diketahui yang taat bayar pajak hanya 29% dari keseluruhan pemegang IUP atau sebanyak 2.304 IUP. “Persoalan kewajiban keuangan ini juga termasuk syarat CnC dan komitmen pembenahan izin tambang dalam Korsup Minerba. Karenanya penting Ditjen dan pihak terkait untuk mendorong ketaatan izin tambang atas kewajiban keuangan,” tutur Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah.
Ditjen Minerba, lanjut Maryati, juga seharusnya mampu untuk menagih tunggakan penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) dari land rent (iuran tetap) dan royalti kepada pemilik IUP yang masih belum dibayarkan. Berdasarkan data Korsup Minerba sepanjang 2003-2012 masih ada kewajiban yang belum dibayarkan dari IUP sebesar Rp 3,342 triliun, PKP2B sebesar Rp 3,433 triliun dan Kontrak Karya sebesar Rp 1,532 triliun yang seharusnya ditagih untuk menutup kekurangan. Sementara itu, berdasarkan perhitungan Publish What You Pay Indonesia total potential lost untuk sewa tanah atau land rent (IUP eksplorasi U$ 2 per hektar dan operasi produksi US$ 4 per hektar) di 30 provinsi penghasil minerba di seluruh Indonesia sejak 2010-2013 mencapai Rp 1,55 triliun.
Selain penertiban izin dan kewajiban keuangan. Peningkatan pengawasan produksi dan penjualan produk minerba juga masih jauh dari pembenahan. Dirjen Minerba belum secara serius memantau pengawasan produksi dan penjualan dengan merevitalisasi peran Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (TekMira) sebagai salah satu surveyor. Jangan sampai perusahaan malah yang membayar jasa surveyor sehingga memungkinkan terjadinya praktek mark-up atau mark-down dalam laporan hasil pengawasannya. Ditjen minerba juga harus concern dengan hal ini.
Korsup Minerba KPK sejauh ini menunjukan hasil yang signifikan. Inisiatif tersebut dilaksanakan di 31 provinsi Hasilnya, sejumlah capaian positif dari Korsup KPK mulai terlihat, diantaranya yang signifikan adalah peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) batubara di tahun 2014 sekitar Rp 10 triliun, meskipun di saat yang bersamaan harga batubara mengalami penurunan 30% dibandingkan dengan tahun 2013 dan ekspor mineral mentah tidak diberlakukan.
Kendati demikian, aksi pemberantasan korupsi oleh KPK di sektor SDA ini sebenarnya tidak bisa dikerjakan oleh KPK sendiri. Perlu adanya dukungan masyarakat sipil untuk mendorong langkah pencegahan KPK dengan metode korsup semakin efektif dan berdampak positif bagi masyarakat.