Jakarta-TAMBANG. Pemerintah dalam hal ini Kementrian ESDM sedang mengkaji batas akhir izin ekspor konsentrat pada tahun 2017. Ini dilakukan dengan alasan kondisi pertambangan khusus harga komoditi pertambangan di 2014 dan 2015 yang melemah. Ini menyulitkan perusahaan perusahaan tambang untuk berinvestasi termasuk melanjutkan pembangunan smelter.
Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan kondisi pertambangan selama dua tahun terakhir ini kurang baik. Harga komoditi tambang termasuk produk hilir yang turun telah membuat perusahaan kesulitan melanjutkan pembangunan fasilitas smelter.
“Banyak sekali perusahaan pertambangan kesulitan keuangan. Jadi, dari segi waktu 3 tahun akan terealisasi atau tidak, tapi dari kemampuan keuangan pengusaha tambang juga memang berat. Karena itu, apakah 2017 realistis, apakah smelter akan selesai sesuai yang diamanatkan, itu juga menjadi pertanyaan. Kami review kembali,” ungkapnya usai pertemuan dengan para asosiasi pertambangan di Jakarta, Selasa (16/2).
Review yang dilakukan menurut Sudirman lebih karena pemerintah berkepentingan memastikan kelanggengan industri pertambangan. Melihat kondisi yang terjadi saat ini, Pemerintah merasa perlu untuk mengkaji kembali kebijakan ini. Daripada ekspor konsentrat dilarang namun tidak banyak memberi manfaat bagi masyarakat.
“Pasal yang disusun tidak realistis dikaitkan dengan kondisi di lapangan. Misalnya, smelter diputuskan di 2014 bahwa harus selesai 3 tahun. Nah kebetulan saja ketika keadaan harga mineral jatuh,” kata Menteri Sudirman.
Sebagaimana diketahui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) lewat Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri menyatakan ekspor hasil pengolahan dapat dilakukan dalam jangka waktu tiga tahun sejak diundangkan peraturan ini. Dengan perusahaan hanya boleh mengekspor konsentrat sampai 2017. Selebihnya harus dalam bentuk hasil pemurnian.
Namun jika dilihat kemajuan pembangunan smelter khusus di sektor tembang rasanya sulit masuk tahapan produksi di tahun 2017. Sementara jika tidak dilakukan relaksasi izin ekspor konsentrat maka perusahaan sekelas PTFI dan PT Newmont Nusa Tenggara harus mengurangi produksi lebih dari 70%. Ini karena selama ini sebagian besar konsentrat dari dua perusahaan asal Amerika tersebut diekspor. Sementara untuk dalam negeri dalam hal ini ke PT Smelting Gresik hanya di kisaran 25-30% dari total produksi.
Pemerintah juga baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Ini merupakan revisi atas Permen ESDM 11/2014 yang mengatur tata cara ekspor dengan merujuk pada progres pembangunan smelter.
Terkait regulasi baru ini Pengamat Pertambangan yang juga adalah Direktur Center for Indoensian Resources Strategic Studies Budi Santoso menilai bahwa aturan tersebut tidak banyak memberi manfaat bagi pelaku usaha pertambangan. “Aturan yang ada sepertinya untuk mengatur yang tidak ada. Sementara yang ada malah tidak terkena aturan,”kata Budi.
Budi kemudian menjelaskan bahwa dalam aturan yang mengatur konsentrat dan lumpur anoda tetapi yang menjadi batasan adalah kandungan minimum metalnya. Dalam ketentuan tersebut hanya Freeport yang bisa lolos. “Demikian juga dengan dana keseriusan 5% dan sejauh ini Freeport sudah memberi lebih dari 5%. Sementara untuk komoditas seperti alumina, nikel sepertinya tidak mungkin terpenuhi sehingga tidak bisa diekspor karena masih dibawah kadar yang disyaratkan,”katanya.