Jakarta-TAMBANG. Presiden Joko Widodo pada akhir Oktober lalu melakukan penandatanganan kerjasama pembelian minyak bersama dengan Wakil Presiden Angola, Manuel Domingos Fincente di Istana Merdeka. Rencananya PT Pertamina (Persero) yang mewakili Indonesia akan membeli minyak dari perusahaan minyak nasional, Sonangol EP.
Proses kerjasama ini menimbulkan sejumlah tanda tanya dan juga pro kontra bahkan reaksi keras dari berbagai pihak. Yusri Usman, Pengamat Kebijakan Energi mengatakan semula proses bisnis itu Goverment to Goverment (G to G) kemudian dialihkan menjadi bisnis to bisnis (B to B). Menurut Yusri, proses kerjasama itu awalnya dianggap sebagai berkah untuk bangsa Indonesia. Namun setelah ditelusuri ternyata kerjasama itu bukan hasil kerja cepat Menteri ESDM tetapi sudah lama diurus oleh Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Hanung Budya, Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina.
Menurut Yusri pada Rabu dini hari (22/10) yang lalu, Hanung Budya sempat dipanggi Jokowi sebelum sebelum Kabinet Kerja terbentuk. Media massa saat itu pun beranggapan Hanung Budya menjadi salah satu kandidat Menteri ESDM. Padahal, kata Yusri Usman, ia ditugaskan mengurus Cina Sonangol EP. “Anehnya ke Cina. Berarti di belakang Sonangol EP ada Cina Sonangol yang menjadi patner perusahaan Surya Paloh di Blok Cepu,”kata Yusri kepada Majalah TAMBANG, Selasa (18/11).
Namun belakangan, kata Yusri, Surya Paloh mengelak turut mengusulkan pembelian minyak Angola. Padahal di lapangan ada anak buahnya yang mengawal proyek pembelian minyak Angola ini. Yusri mengaku bingung dengan konsep restorasi yang selalu digemborkan Partai Nasdem selama ini. “Takutnya orasinya diambil, yang tinggal hanya rest (istirahat). Saya lihat kok Pak Surya Paloh sekarang banyak istirahat,” canda Yusri sembari tergelak.
Terkait klaim Menteri ESDM, Sudirman Said, yang mengatakan jika Indonesia membeli minyak dari Angola maka bisa menghemat sebesar 25%, Yusri kuatir hal tersebut hanyalah jurus lima jari, yaitu kasih satu ambil empat. “Dilihat dari konsep kerjasamanya mengadopsi sistem impor dan ekspor dan di sinilah celah permainannya. Istilahnya, ada udang di balik batu,” tengarai Yusri yang mengaku sebagai pengagum Surya Paloh.
Oleh sebab itu, Yusri Usman berharap agar proses pembelian minyak Angola harus transparan. Ia justru mempertanyakan mengapa kemudian proses pembelian minyak Angola ini dialihkan ke Petral. Padahal pembelian minyak Angola lebih murah dan menguntungkan negara seharusnya bisa menjadi contoh tata kelola migas yang baik dengan tidak melibatkan Petral. Ia beranggapan sistem seperti hanyalah ganti baju saja. Sebab lanjut Yusri ia mendengar dari pihak yang dapat dipercaya, ada upaya untuk membentuk lembaga baru.
“Badan baru inilah yang akan membeli minyak Angola. Ini untuk hilir. Ini (badan baru) akan bermain juga di hulu dengan mengambil blok-blok di sana,” kata Yusri. Kedepannya ia berharap, pihak KPK, BIN dan DPR segera memanggil pihak Sonangol EP untuk menanyakan betul soal pembelian minyak ini. “Sekarang tidak perlu lagi ditutupi. Jangan sampai memalukan negara dan Presiden Jokowi. Kita harus selamatkan Presiden kita,”tegas Yusri.
Sementara itu, Uchok Sky Khadafi, Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menengarai proses pembelian minyak dari Angola ini tak ubahnya gaya permainan lama yang dibungkus kemasan baru. “Di atasnya pemerintah sementara di bawahnya ada Petral yang bermain,” kata Uchok.
Petral selama ini menjadi sarana-prasarana tunggangan mafia untuk mengambil untung. Karena itu, Uchok berharap kerjasama pembelian minyak Angola harus diperiksa oleh KPK. Karena transaksi yang mencapai triliunan, kata Uchok, KPK wajib memeriksa proses penjualan minyak ini. Pihak yang harus dipanggil KPK, ungkap Uchok, adalah Menteri ESDM, Menteri BUMN, dan Jusuf Kalla, yang menyaksikan proses penandatanganan kerjasama penjualan minyak. Ketiga orang inilah yang harus diminta keterangannya terkait masalah tersebut.