TAK ada koreksi produksi, tak ada penyeimbangan pasar, semuanya menggelinding terus. Seolah tak terjadi apa-apa. Itulah situasi pasar komoditi mineral dan batu bara, sesuatu yang tak kita harapkan di saat harga anjlok luar biasa.
Daniel Hynes, ahli senior untuk strategi komoditi di ANZ Bank, Australia, menulis dalam laporannya: pemotongan produksi masih merupakan sebuah keajaiban.
Situasi itu tergambar dalam Indeks Kering Baltic (Baltic Dry Index), sebuah ukuran untuk mengetahui permintaan ruang kapal untuk mengangkut produk curah seperti bijih besi, batu bara, gandum, dan pupuk. Indeksnya jatuh ke 608, titik terendah sejak Agustus 1986. Indeks ini jatuh 95% dibanding titik tertinggi pada 2008 yang besarnya mencapai 11.793.
Kolumnis bisnis dari Australia, Robin Bromby, dalam tulisannya di koran terkemuka The Australian hari ini mengatakan, berbagai harga komoditi bertumbangan. Tembaga turun 14,4% sejak 1 Januari. Juara kedua paling anjlok adalah seng, yang semula adalah bintang baru di antara logam dasar.
Daniel Hynes berargumen, perusahaan tambang tak akan memangkas produksinya sebagai reaksi terhadap anjloknya harga. Hal ini terjadi karena biaya akan jatuh dengan cepat, dan keuntungan terhadap pelemahan mata uang terjadi terhadap setiap sen anjloknya dolar Australia terhadap dolar Amerika.
‘’Biaya energi dan nilai tukar memiliki dampak penting terhadap biaya pokok, sangat berperan untuk mengatasi pelemahan harga saat ini,’’ katanya.
Situasi ini bisa dilihat di Rusia, yang mata uang rubelnya jatuh hingga 50% terhadap dolar Amerika. Biaya produksi batu bara Rusia berkurang 35%. Dolar Kanada juga turun 15% terhadap dolar Amerika. Berbagai mata uang lain terhadap dolar Amerika, bernasib serupa. Biaya produksi mereka juga turun.
Semua negara pengekspor komoditi memiliki prinsip sama: sepanjang masih ada permintaan, produksi jalan terus.
Kelesuan di pasar komoditi berjalan dengan caranya sendiri. Ambil contoh potas (kalium karbonat), bahan mineral yang banyak dipakai untuk pertanian. Tahun lalu, permintaan dunia mencapai rekor baru: 58 juta ton.
Pada 2008, harganya mencapai US$ 800/ton. Setahun lalu, tinggal US$ 295/ton. Meski permintaan terus meningkat, harganya paling banter US$ 320/ton. Pembelian oleh Amerika diganggu rendahnya harga panenan.
Lembaga Capital Economics dari London memperkirakan, harga gandum akan turun dari US$ 5 menjadi US$ 4 per gantang (1 gantang sekitar 35 kilogram).
Analis senior komoditi dari Capital, Caroline Bain melihat, banyak problem terhadap meningkat pesatnya permintaan terhadap seng. Harga bisa meningkat tahun ini dan tahun depan, kelanjutan dari defisit 250.000 ton seng pada 2014. Tahun ini mungkin ada defisit 450.000 ton.
Caroline menduga, sebanyak 250.000 ton defisit itu terjadi kemungkinan karena seng sebanyak itu berada di gudang, di salah satu kawasan berikat di Cina.
Bisa-bisa stok itu dilepaskan.