Jakarta, TAMBANG – Pemerintah Indonesia tengah mendorong hilirisasi mineral. Setelah nikel, kini pemerintah melarang ekspor bauksit. Selanjutnya, mineral mentah lainnya akan menyusul dilarang ekspor.
Pakar Perpajakan yang pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak periode 2000-2001, Machfud Sidik mengatakan, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter membutuhkan investasi tinggi, sehingga pemerintah perlu membuat kebijakan fiskal berupa insentif sebagai stimulus. Tujuannya agar investasi yang digelontorkan oleh pelaku usaha bisa optimal.
“Hilirisasi sumber daya alam butuh investasi yang besar. Insentif pajak diperlukan untuk meningkatkan daya saing” Jelas Machfud dalam acara Indonesia Tax Outlook 2023 Navigating Tax Opportunities and Risks, Kamis (2/2).
Dalam tahapan pembangunan smelter, kata Machfud, ada fase di mana penerimaan negara akan menurun karena pemberian insentif. Namun demikian, itu hanya terjadi dalam jangka pendek. Nantinya, ketika smelter beroperasi, negara akan mendapatkan penerimaan yang lebih besar sekaligus multiplier effect, baik berupa devisa maupun penyerapan tenaga kerja.
“Pemerintah harus melihat pada dua sisi, yaitu kebijakan mengaitkan antara hilirisasi dan sumber penerimaan. Jangan misalnya teman-teman pajak melihat penerimaan menurun karena insentif dan sebagainya, tapi kta harus melihat keseluruhan. Di berbagai negara, pemberian stimulus fiskal bertujuan untuk mendorong perekonomian, baik itu peningkatan devisia atau penyerapan tenaga kerja,” sambung Machfud.
Pada kesempatan yang sama, Senior Advisor Taxprime, Wawan Setiyo Hartono menjelaskan, pelaku usaha yang membangun smelter didorong untuk jeli dalam memanfaatkan fasilitas fiskal yang ada.
“Karena investasinya besar, maka perlu diperhatikan hal-hal apa yang dapat mereduksi atau mengoptimalkan investasi. Fasilitas fiskal yang disediakan pemerintah harus dimanfaatkan, termasuk kalau bisa berada di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK),” beber Wawan.
Pemilihan lokasi smelter di KEK itu, kata Wawan, akan membantu meringankan investor, karena ada insentif penangguhan bea masuk dan sebagainya.
“Kalau fasilitas fiskal tidak dimanfaatkan secara efisien, maka akan ada compliance cost yang sebenarnya tidak perlu,” jelas Wawan.
Lebih lanjut, ia bilang, industri smelter akan menghasilkan produk metal yang nantinya dijual di dalam negeri atau diekspor. Jika diekspor, maka pelaku usaha perlu memperhatikan terkait exchange rate atau nilai tukar.
Selain itu, pelaku usaha juga perlu memperhitungkan fluktuasi harga komoditas. Sebab, produk smelter mulai dari bahan mentah hingga menjadi refine metal, itu dibanderol berdasarkan market price.
“Saat pembangunan smelter, perlu diperhatikan exchange rate dan commodity price. Termasuk apakah smelter itu terintegrasi dengan tambang atau berdiri sendiri. Model bisnisnya mau bagaimana. Misalnya untuk pemenuhan bahan baku menggunakan sell and buy, atau bagaimana. Itu semuanya tidak mudah untuk diperhatikan,” tegas Wawan.