JAKARTA, TAMBANG. GAGASAN yang pernah dilontarkan pemerintah mengenai pelonggaran ekspor mineral dengan persyaratan tertentu, hingga kini masih belum jelas rencana pelaksanaannya. Namun, dalam pandangan Wakil Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Jonathan Handoyo, pemerintah sebaiknya mempertahankan kebijakan yang ditempuh sejak Januari 2014, yakni melarang ekspor mineral mentah.
Berbicara di Indonesia Mining Outlook 2016, yang diselenggarakan Majalah TAMBANG di Jakarta, Rabu lalu, Jonathan mengatakan, pemerintah hendaknya konsisten terhadap upaya meningkatkan nilai tambah hasil tambang.
Jonathan kemudian mengutip sejumlah aturan. UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara , Pasal 102 dan 103 tegas mewajibkan peningkatan nilai tambah sumber daya mineral dan batu bara, serta wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
UU No. 3 Tahun 2015 tentang Perindustrian, Pasal 31, mengatakan hal hampir sama. Di situ disebutkan, pemerintah mendorong pengembangan industri pengolahan dalam negeri. Salah satunya dengan cara yang disebutkan di pasal 33, “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk industri dalam negeri.”
Selain itu ada aturan yang dimuat di peraturan pemerintah maupun peraturan Menteri ESDM, yang mengatakan bahwa setiap jenis komoditas tambang mineral logam wajib diolah dan dimurnikan sesuai dengan batasan minimum pengolahan dan pemurnian.
‘’Kebijakan ini jangan diubah. Karena organisasi kami, yang beranggota 24 perusahaan industri pengolahan, sudah banyak berinvestasi,’’ kata Jonathan. AP3I melalui para anggotanya telah merealisasikan investasi peleburan sebesar USD 12 milyar dan memperkerjakan sekitar 15.000 tenaga kerja, tidak termasuk kontraktornya.
Namun pandangan Jonathan Handoyo itu ditentang oleh para pelaku usaha pengolahan bauksit, di antaranya oleh Jery Wenzen, eksekutif dari PT Nusapati Energy. Jery mengatakan, saat ini para pengusaha yang tengah membangun smelter, sebagian besar kesulitan dana. Mereka adalah para penambang, yang sejak 2014 tak lagi bisa mengekspor.
‘’Membangun industri pengolahan adalah program jangka panjang. Seharusnya, jangka pendeknya juga dipikirkan,’’ kata Jery. Jangka pendek itu adalah dengan membuka keran ekspor. ‘’Dengan mengizinkan ekspor mineral, pemerintah akan segera mendapat devisa. Lapangan kerja tercipta. Kami juga memiliki uang untuk meneruskan pembangunan smelter,’’ tutur Jery.
Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia, Erry Sofyan, sepakat dengan ucapan Jery. ‘’Sejak 2014 kami tidak memiliki pemasukan sama sekali, karena ekspor mineral dilarang pemerintah. Karena tidak ada pemasukan, bank dilarang memberi pinjaman kepada kami,’’ kata Erry, yang juga salah satu tokoh kunci di kelompok usaha tambang Harita Group ini.
Kelompok Harita, bekerjasama dengan investor dari Cina, saat ini tengah menyelesaikan pembangunan smelter di Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Rencananya ujicoba produksi mulai berlangsung Mei mendatang.
Akibat pelarangan ekspor mineral, Harita menderita kerugian cukup besar. Menurut hitungannya, akibat pelarangan ekspor mineral, negara kehilangan potensi devisa masuk sebesar Rp 17,6 triliun per tahun, kehilangan potensi pajak Rp 4,1 triliun, dan penerimaan negara bukan pajak Rp 600 miliar. Jumlah karyawan yang kena PHK mencapai 40.000 orang, sebagian di antaranya berasal dari kelompok Harita.
Terakhir, akhir Februari lalu, sekitar 100 karyawan Harita kehilangan pekerjaan. ‘’Saya ini bisa dikatakan pengangguran. Kerja di perusahaan yang tak ada penghasilannya,’’ kata Erry.
Agar situasi membaik, Erry mengusulkan pemerintah melakukan relaksasi ekspor terbatas. ‘’Tidak ada satu pasal pun di Undang-Undang Minerba yang melarang ekspor,’’ katanya. Dengan ekspor, katanya, negara akan dengan cepat mendapatkan devisa. Kontraktor tambang yang sudah lama mati, akan kembali hidup. Pegawai tambang dan kontraktornya akan kembali mendapatkan nafkah.
‘’Relaksasi ekspor terbatas merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana untuk menciptakan lapangan kerja, serta mendapatkan devisa,’’ kata Erry.
Foto: Erry Sofyan (di mimbar), dan Jonathan Handoyo (duduk, ketiga dari kiri).