Jakarta – Hingga lima tahun mendatang, ada tujuh perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama yang akan habis masa berlakunya. Menurut Pakar Hukum Pertambangan, Abrar Saleng, kontrak tersebut berhak mendapatkan perpanjangan.
Alasannya, kata Abrar, hak perpanjangan sejak awal diatur dalam isi kontrak PKP2B itu sendiri, dan diamini oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba), tepatnya pada ketentuan peralihan pasal 169.
“Pasal 169 UU Minerba memberi peluang untuk diperpanjang. UU Minerba menghormati kontrak,” ujarnya di Jakarta, Selasa (21/1).
Lebih lanjut, aturan itu diperkuat melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014, bahwa perpanjangan diberikan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Mekanismenya tanpa melalui lelang, dengan durasi IUPK dua kali sepuluh tahun.
“Pasal 112 PP 77/2014 menyebutkan kontrak diubah menjadi IUPK tanpa lelang. Perpanjangan boleh asal memenuhi unsur penerimaan negara yang lebih menguntungkan, potensi cadangan dan kepentingan nasional, kinerja yang lebih baik, dan memenuhi persyaratan teknis,” kata Guru Besar Hukum Universitas Hasanuddin Makassar itu.
Selain itu, ia juga memaparkan soal batasan luas wilayah dari IUPK batu bara, yang dalam pasal 83 UU Minerba disebutkan maksimal 15 ribu hektare. Menurut Abrar, pasal ini ditujukan untuk IUPK yang sama sekali baru, bukan IUPK yang muasalnya kelanjutan dari pengusahaan lama.
Untuk diketahui, seluruh PKP2B saat ini memiliki luas wilayah lebih dari 15 ribu hektare. Sebut misalnya, PT Arutmin Indonesia yang kontraknya akan berakhir pada November tahun ini, konsesinya tercatat mencapai 57 ribu hektare.
Penciutan menjadi 15 ribu hektare tidak berlaku bagi IUPK yang statusnya perpanjangan dari PKP2B. Hal ini dijelaskan melalui pasal 171 UU Minerba. Catatannya, sambung Abrar, bahwa PKP2B telah menyampaikan Rencana Kegiatan pada Seluruh Wilayah (RKSW) kepada Pemerintah dan telah disetujui.
Soal RKSW, luasan wilayah bagi masing-masing PKP2B telah ditampung dalam kontrak amandemen yang disetujui beberapa tahun lalu. Hal ini dibenarkan oleh General Manager Legal and External Affair Arutmin, Ezra Sibarani.
Menurutnya, Arutmin telah melakukan penyesuaian isi kontrak atau amandemen pada tahun 2017. Dalam amandemen tersebut, Pemerintah menyetujui tidak ada penciutan, yang artinya bagi Arutmin luas wilayah pengusahaan tetap di angka 57 hektare.
“RKSW di pasal 171 (UU Minerba) itu sudah disetujui di 2017 di amandemen, mencakup seluruh wilayah sampai mine life,” tutur Ezra.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia menuturkan, aktivitas tambang batu bara milik PKP2B berpotensi tidak ekonomis apabila arealnya dipersempit menjadi 15 ribu hektare.
“Batu bara itu sifat endapannya menyebar, jadi wajar kalau butuh area yang luas. Kalau lahannya terbatas bisa jadi nanti malah tidak ekonomis,” bebernya.
Lebih lanjut, Hendra juga menjelaskan terkait peran PKP2B generasi pertama yang dinilai banyak mendukung perekonomian di level nasional. Contohnya menyangkut Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Di tahun 2019, tercatat PNBP sektor mineral dan batu bara oleh Kementerian ESDM mencapai Rp 50 triliun, di mana 80 persen disumbang oleh batu bara. Sementara itu, PKP2B generasi satu berkontribusi sekitar 40 persen dari total produksi nasional.
“Ini matematika sederhana. Kita belum melihat pajaknya di Kementerian Keuangan, ada PPh Badan, PPN, sampai PPh karyawan, itu jumlahnya besar sekali.” pungkas Hendra.