Jakarta, TAMBANG – Pakar Ekonomi, Ichsanuddin Noorsy, menilai terkait polemik harga batu bara nasional (Domestic Market Obligation/DMO) untuk listrik, ada kesalahan awal yang dilakukan pemerintah terkait program elektrifikasi.
“Salahnya dari awal. Pemerintah menaikkan porsi batu bara dari 16 persen menjadi 32 persen dalam program elektrifikasi, dan diserahkan kepada perusahaan swasta IPP (Independent Power Producer),” kata Ichsanudin Noorsy, usai diskusi “Sistem Ekonomi Berkeadilan: Mengurai Kesenjangan” pada Sarasehan Pergerakan Indonesia Maju (PIM), di Jakarta, Kamis (22/2).
Menurutnya, kenaikan porsi batu bara kepada IPP yang merupakan perusahaan swasta, dalam program elektrifikasi nasional menyebabkan pemerintah tak berdaya dalam menentukan harga batu bara.
“Dengan kenaikan itu, pengusaha punya daya tawar ke pemerintah. Akhirnya (pemerintah) tak berdaya. Wajar kalau pengusaha yang menentukan harga,” sambungnya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM telah memanggil PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan pengusaha batu bara pada 5 Februari lalu. PLN meminta harga di kisaran USD60-70 per ton, sementara pengusaha mematok harga batu bara di angka USD85 per ton. Keduanya tak ada yang mengalah, dan sampai saat ini belum ditemukan kesepakatan.
Lebih lanjut, Ichsan mengungkapkan, meskipun harga batu bara Internasional naik, pemerintah tidak seharusnya ikut menaikkan juga harga batu bara nasional, terutama batu bara yang disasarkan untuk PLN.
“Kalau dilihat dari jalur distribusi, seharusnya (harga batu bara) tidak perlu naik. Hanya saja, persoalan pokoknya, berapa kira-kira kelayakan harga batu bara?” tandasnya.
Harga yang layak, sambung Ichsan, bisa mengacu pada tiga hal. Pertama, mengacu pada tambang batu bara yang bersangkutan, apakah tambangnya disiapkan untuk Main Mouth (Mulut Tambang) atau tidak. Kedua, naik turunnya biaya mobilisasi batu bara. Ketiga, total biaya penumpukan untuk produksi.