Beranda CSR Orang Rantai di Perut Bumi

Orang Rantai di Perut Bumi

Repro Majalah TAMBANG edisi 93, Maret 2013

TAMBANG Ombilin, Sawahlunto, Sumatera Barat, menjadi saksi bisu kejayaan Belanda dalam mengeksploitasi batu bara di Indonesia.

Repro Majalah TAMBANG, Esidi 93, Maret 2013

Tambang Ombilin mulai dieksplorasi tahun 1876, terletak di kota Sawahlunto, salah satu kota di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar). Kota yang terletak di 95 km sebelah timur laut kota Padang ini, dikelilingi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Tanah Datar, Solok dan Sijunjung.

 

Batu bara di Ombilin ditemukan pertama kali oleh ahli geologi Belanda Ir. C. De Groot, pada 1858. De Groot meyakini bahwa kawasan di sekitar sungai Ombilin memiliki kandungan batu bara.

 

Sinyalemen De Groot itu kemudian, ditindaklanjuti oleh Ir. Willem Hendrik de Greve pada 1867.  Penyelidikan yang lebih seksama oleh Ir. RDM Verbeck menghasilkan temuan mengejutkan. Ditengarai kawasan tersebut mengandung batu bara ratusan juta ton.

 

Deposit yang menggiurkan itu, membuat pemerintah Belanda berani menanamkan investasi sebesar 5,5 juta gulden untuk membangun fasilitas pengusahaan tambang batu bara Ombilin, seperti pelabuhan Teluk Bayur dan kereta api.

 

Pada 1887, Belanda membangun proyek tiga serangkai, yakni tambang batu bara Ombilin, jalur kereta api, dan pelabuhan Teluk Bayur. Pembangunan jalan kereta api baru selesai pada 1891, menghubungkan  Teluk Bayur-  Sawahlunto melewati kota Padangpanjang.

 

Pembangunan Teluk Bayur dimulai 1888 dan selesai di 1893. Adanya rel dan pelabuhan memudahkan penjualan batu bara Ombilin ke luar negeri, terutama Eropa.

 

Pemerintah Belanda mencatat laba 4,6 juta gulden di 1920. Untuk mendukung kegiatan eksploitasi tambang Ombilin, pemerintah kolonial Belanda sejak 1892 merekrut tenaga kerja dari berbagai penjuru kota. Mereka dipekerjakan secara paksa di atas lahan seluas 778 ha.

 

Pekerja terbanyak berasal dari Pulau Jawa. Kaki mereka diikat dengan rantai, dicambuk, dan disiksa jika tidak bekerja. Muncullah istilah “Orang rantai”. Pekerja paksa ini, sehari-hari masuk ke perut bumi untuk mengais batu bara.

 

Selepas bekerja, tenaga kerja ini kemudian dimasukkan di dalam penjara yang terhubung langsung ke mulut lobang tambang di Sei Durian, Kota Sawahlunto.

 

Selepas kepergian Belanda dari tanah Sawahlunto, aset-aset Belanda di tambang Ombilin mulai dinasionalisasi. Pada 1968, tambang batu bara Ombilin diberikan kepada Perusahaan Umum Batubara. Selanjutnya Perum tambang  batubara digabung dengan PT Tambang Batubara Bukit Asam, menjadi PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Unit Pertambangan Ombilin.

 

Di pertengahan tahun 2002, kegiatan penambangan di Ombilin  Sawahlunto dihentikan, karena sudah tidak ekonomis lagi.

 

Kini di bekas kawasan tambang itu, hanya ada puing bangunan penjara dengan dinding beton tinggi yang ditaburi pecahan kaca serta kawat berduri. Bekas kompleks bangunan penjara ini pernah juga difungsikan sebagai sekolah tambang, Ombilin Mining Training Center (OMTC) dan sebagai Balai Diklat Tambang Bawah Tanah (BDTBT) dibawah naungan Departemen Energi Sumber Daya Mineral, sejak awal tahun 2000 hingg sekarang.

(Sumber: Majalah TAMBANG, edisi  93/ Maret 2013)