Jakarta, TAMBANG – Perlawanan para pemilik Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Non Clean and Clear (CnC), yang mengadu ke Ombudsman ada yang berbuah hasil. Kabarnya, ada satu IUP Non CnC yang mendapat rekomendasi untuk kembali berstatus IUP CnC.
“Ya, satu sudah dikirim ke (Ditjen) Minerba (Kementerian) ESDM). Untuk dapat CnC,” kata Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Laode Ida, saat dikonfirmasi oleh tambang.co.id, Selasa (3/4).
Sayangnya, Laode belum mau membuka informasi terkait perusahan dan asal daerah operasi perusahaan yang mendapat rekomendasi CnC tersebut. “Belum boleh,” tukas Laode.
Meski demikian, Laode menjelaskan laporan-laporan lainnya masih dalam tahap proses klarifikasi dan permintaan kelengkapan data. Pada proses ini menurutnya, Ombudsman juga mendapatkan pertimbangan dari tiga para ahli hukum pertambangan, ahli administrasi dan pemerintahan
Tahapan yang sudah dilakukan ini, hingga sudah ada satu IUP yang direkomendasikan kembali CnC menurut Laode, akan menjadi model untuk pengaduan yang sama karakternya.
“Tiga ahli hukum sudah memberikan pendapat,” tukas Laode.
Sebelumnya, Laode pernah mengatakan, proses penyelesaian laporan aduan IUP non CnC akan diselesaikan secepatnya dalam waktu tiga bulan.
“Sebenernya cepat atau lambat, tergantung kepada perkara itu sendiri. Tapi setidaknya satu kasus selesai 3 bulan,” tegas Laode, pada 22 Februari lalu.
Sebelumnya pula, pakar hukum pertambangan Universitas Hasanuddin (Unhas), Abrar Saleng, menyebut Ombudsman perlu membagi kasus berdasarkan modus.
Pertama, akibat dualisme kewenangan. Sebelumnya, kewenangan penerbitan IUP berada di tingkat kabupaten dan kota sebagaimana diatur dalam UU Pemerintah Daerah (Pemda) Nomor 32 tahun 2004. Kemudian setelah adanya revisi UU menjadi Nomor 23 tahun 2014, kewenangan tersebut beralih ke tingkat provinsi. Pemerintah kabupaten dan kota wajib melakukan pelimpahan berkas ke provinsi. Masalahnya, ada tumpang tindih IUP, satunya dikeluarkan oleh bupati dan satunya dikeluarkan oleh gubernur. IUP itu terbit di atas lahan yang sama.
Kedua, saat revisi UU tersebut, pemerintah kabupaten dan Kota tidak melimpahkan ke provinsi, atau dari provinsi tidak melanjutkan ke pusat.
Ketiga, IUP lama yang akan diperpanjang atau ditingkatkan, mengalami penundaan yang berlarut-larut. Sehingga saat masa penataan CnC berakhir, IUP belum diurus dan dinyatakan Non CnC.
Keempat, koordinat IUP tidak dicek ke lapangan. Sehingga memunculkan banyak masalah. Seperti tumpang tindih lahan IUP satu dengan lainnya, atau IUP masuk ke kawasan hutan yang dilindungi, dan sebagainya.
“Kalau sudah ada klasifikasi seperti ini, Ombudsman lebih mudah menyelesaikan laporan,” kata Abrar.