SIKAP tegas pemerintah terhadap PT Freeport Indonesia membuahkan hasil. Hari Minggu kemarin, di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pemilik dan manajemen perusahaan asal Amerika Serikat itu menabalkan kembali tekadnya untuk membangun smelter.
Komisaris Freeport McMoran, James Robert (Jim Bob) Moffet, yang juga salah satu pemilik perusahaan induk PT Freeport Indonesia itu datang dari Amerika Serikat, antara lain untuk mengikuti jumpa pers yang digelar Menteri ESDM Sudirman Said. Moffet menekankan bahwa perusahaannya pasti akan membangun smelter. Lokasinya dipilih di Gresik, Jawa Timur, dengan investasi US$ 2,5 miliar.
Kata ‘’pasti’’ perlu kami tekankan di sini. Karena unsur kepastian di sini memegang peran penting. Enam bulan lalu, tatkala Freeport mendapat izin ekspor, sejumlah hal ia janjikan. Salah satu di antaranya adalah kepastiannya akan membangun smelter. Namun hingga awal pekan lalu janji itu tak jelas bagaimana menunaikannya.
Sampai-sampai di dalam rapat di DPR, Menteri ESDM Sudirman Said menunjukkan kejengkelannya. ‘’Saya tidak suka, Freeport ini baru bereaksi setelah kita ancam-ancam,’’ kata Sudirman. Ia juga menuntut agar manajemen Freeport di Jakarta diberi kewenangan. Sehingga tidak setiap hal harus dilaporkan dulu ke kantor pusat di Amerika.
Agustus lalu Freeport mendapatkan izin ekspor dari Kementerian Perdagangan. Freeport mendapat kuota 750.000 ton konsentrat, setahun. Pemerintah menurunkan bea ekspor, dari 25% menjadi 7,5%, karena Freeport dinilai serius membangun smelter. Namun izin ekspor ini tidak diberikan cuma-cuma. Pemerintah memberikan sejumlah syarat.
Di antaranya, ekspor harus tercapai minimal 60% dari kuota. Freeport harus menjalankan dengan baik renegosiasi kontrak yang sudah ditandatangani. Di renegosiasi itu, ada beberapa hal yang harus dipenuhi Freeport. Di antaranya kesediaan membangun industri pengolahan dan pemurnian, serta pelaksanaan divestasi. Untuk menunjukkan keseriusannya, Freeport menempatkan duit US$ 150 juta sebagai jaminan kesungguhan.
Kali ini, Freeport menyatakan sekali lagi niatnya untuk membangun industri pengolahan, di atas lahan 60 hektare di Gresik, Jawa Timur. Tentu kita berharap kali ini janji yang diucapkan manajemen Freeport, betul-betul dilaksanakan, sehingga ekspor Freeport tak lagi sebatas konsentrat melainkan sudah dalam bentuk hasil jadi.
Sudah terlalu banyak sorotan terhadap Freeport, yang dinilai selama puluhan tahun telah mengeruk ‘’tanah’’ dan ‘’air’’ dari Indonesia untuk dijual ke luar negeri. Konsentrat hasil Freeport menjadi bahan baku bagi industri smelter, antara lain di Jepang.
Industri tambang yang memberi nilai tambah bagi Republik Indonesia memang harus terus digalakkan, agar Indonesia banyak menikmati nilai tambah. Langkah Indonesia ini kini malah menjadi acuan beberapa negara.
India, yang banyak dipuji karena kemajuan industrinya, kini mengalami kekurangan bahan baku bijih besi. Bijih berkualitas tinggi diekspor, sehingga industri dalam negeri kekurangan bahan baku. Di sisi lain India malah mengimpor baja, terutama dari Rusia, yang membuat pabrik baja di dalam negeri kelimpungan karena harus banting harga melawan baja impor. Kalangan industri baja India mendesak agar pemerintah memberlakukan kebijakan seperti yang ditempuh Indonesia, yakni ekspor mineral mentah dilarang.
Filipina, yang kini tengah gencar mengekspor bijih nikel mentah setelah untuk mengisi kekosongan bahan mentah dari Indonesia, juga tengah merancang sebuah undang-undang yang mewajibkan pengolahan hasil tambang di dalam negeri.
Karena itu, sikap tegas pemerintah dalam industri pengolahan mineral di dalam negeri ini perlu diteruskan. Kasihan terhadap mereka yang sudah serius membangun smelter, bila pemerintah memberi kelonggaran. Terhadap mereka yang selama ini hanya menunjukkan komitmen tanpa kemajuan apa pun, rasanya pemerintah juga harus bersikap tegas.