Nikel adalah pemain terburuk di lapangan komoditas pada 2015. Bahan pembuat baja itu harganya terpangkas 42% ketimbang tahun sebelumnya.
Yang menyedihkan, harga buruk itu terjadi setelah larangan ekspor bijih mineral mentah diterapkan di Indonesia pada awal 2014. Ketika itu harga nikel sempat melejit ke atas $ 20.000 per ton. Tapi kurang dari lima bulan kemudian; harganya langsung terbenam ke kisaran US$ 8.000 per ton, terendah sejak 2003.
Harga nikel saat ini kontras dengan 1993-2015, ketika itu rata-rata $ 13.600 per ton. Pernah mencapai puncaknya di harga $ 54.050, pada Mei 2007.
Sebagian besar penambang dan analis salah membaca pasar nikel. Banyak faktor tak terduga. Selasa kemarin, harga nikel bergerak di kisaran $ 8.655 per ton. Bagaimana harga pada 2016? Ini juga tak mudah meramalnya. Yang pasti, mereka yang bermain nikel butuh modal kuat.
Tahun 2015 sempat digadang-gadang sebagai tahun baliknya harga nikel.
Setelah Indonesia, produsen terbesar bijih nikel melarang ekspor nikel pada 2014, harga nikel diramalkan melejit. Koran Australia, Financial Review mengutip prediksi Goldman Sachs yang mengatakan bahwa pada 2015 adalah tahun kekurangan nikel.
Prediksi itu ternyata salah. Filipina menutup kekosongan yang ditinggalkan Indonesia. Musibah lain datang: ekonomi Cina pertumbuhannya tak segagah tahun sebelumnya, membuat produksi baja juga berkurang. Akibatnya, nikel, salah satu bahan penunjang produksi baja, harganya terjun bebas, anjlok melebihi turunnya harga komoditas lainnya.
Permintaan Cina terhadap nikel selama 10 tahun lalu cenderung menguat, seiring dengan produksi baja yang terus tumbuh. Akan tetapi tahun lalu produsi baja Cina mengalami kontraksi 2%. Menurut analisis Deutsche Bank, ini karena penerapan tarif impor oleh Masyarakat Eropa.
Apakah harga nikel pada 2016 akan naik? Ini semua tergantung pada bagaimana ekonomi Cina. Bila ekonomi Cina membaik, dengan sendirinya akan mendorong permintaan baja. Permintaan terhadap nikel pun akan meningkat.