Beranda Korporasi MRU Beroperasi, Pertamina Tancap Gas Program Konversi

MRU Beroperasi, Pertamina Tancap Gas Program Konversi

Pengguna kendaraan berbahan bakar gas (BBG) di Jakarta kini semakin mudah mengisi ulang bahan bakar. Mereka juga tak perlu lagi repot bersaing dengan Bus Transjakarta setelah Pertamina meresmikan beroperasinya stasiun pengisian portabel atau Mobile Refuelling Unit (MRU) di beberapa titik lokasi di Jakarta.

 

Jakarta-TAMBANG. Solihin (47) jadi salah satu warga Jakarta yang bersyukur dengan keberadaan MRU. Pria yang sehari-harinya mencari nafkah sebagai supir Bajaj itu kini punya banyak pilihan tempat pengisian BBG. Sebelumnya Solihin seringkali harus bersaing dengan bus Transjakarta dan mobil pribadi ketika mengisi ulang gas di stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) di bilangan Monas, Jakarta Pusat.

 

Ketika stasiun pengisian itu tutup karena perawatan, ia harus gesit mencari SPBG terdekat. Apabila ketemu pun Solihin dan pengemudi Bajaj lain harus antre hampir tiga jam. Padahal hari itu ia ingin kejar setoran. Walau begitu, Solihin mengaku tidak kapok menggunakan gas di Bajajnya. Meski seringkali kesulitan mengisi ulang gas, memakai BBG terbukti lebih hemat dibandingkan harus membeli bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium.

 

“Sekarang tempat isinya banyak. Jadi kalau antri di sana (monas), bisa lari ke sini kan tidak terlalu jauh. Semakin cepat dapat, semakin bagus biar bisa kejar setoran lagi,” ungkap Solihin kepada Majalah TAMBANG.

 

Salah satu stasiun pengisian yang dipakai Solihin adalah MRU Lapangan Banteng milik Pertamina. MRU yang diresmikan pada Senin (16/11) menambah jumlah fasilitas pengisian BBG untuk transportasi. Sebelumnya hanya ada satu fasilitas MRU di kawasan Monas milik PGN yang lebih dulu dibangun. Selebihnya, pengguna BBG seperti Transjakarta, Bajaj, dan kendaraan pribadi harus mengandalkan dari SPBU yang memiliki fasilitas pengisian gas.

 

Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Dwi Soetjipto mengatakan MRU ini akan semakin memudahkan pengisian ulang kendaraan yang selama ini menggunakan gas alam terkompresi (compressed natural gas/CNG). Selain di Lapangan Banteng, Pertamina juga mendirikan fasilitas MRU di enam lokasi lain di Jabodetabek seperti MRU Pulogebang, MRU SPBU Kemayoran, MRU Mampang Prapatan, MRU Jati Asih Bekasi, MRU Bandara Soekarno-Hatta, dan MRU Rest Area Tol Cikampek.

 

“MRU ini merupakan penugasan dari Ditjen Migas dalam rangka diversivikasi energi dan merupakan langkah strategis untuk sampai ke mix energi (bauran energi) pada 2025,” kata Dwi di sela-sela peresmian fasilitas MRU Lapangan Banteng, Senin (16/11).

 

Dwi menambahkan operasional MRU dan SPBG di bawah Pertamina akan menggunakan merek dagang Envogas. Saat ini Pertamina sedang menyelesaikan 34 unit SPBG dan MRU yang tersebar di wilayah Jabodetabek, Palembang, Semarang, dan Balikpapan dengan sebagian besar memakai suntikan dana APBN. Tahun ini terdapat 18 unit SPBG yang dibangun dengan dana APBN 2015 dan lima unit SPBG Ecostation dengan biaya investasi Pertamina.

 

“Fasilitas MRU seperti ini bisa menjadi solusi dalam masalah lahan dan pipa yang seringkali jadi penghambat dibangunnya SPBG. Kami tentu juga berharap bantuan dari Pemda dalam memberikan izin dan penyediaan lahan sehingga pengguna BBG semakin bertambah,” ungkap Dwi.

 

Realisasi serapan BBG untuk transportasi hingga November 2015 mencapai 34.000 kiloliter setara premium (KLSP). Jumlah itu masih kurang dari target yang ditetapkan Pertamina sebesar 42.000 KLSP hingga akhir tahun 2015. Meski begitu, Pertamina tetap menargetkan kenaikan penggunaan BBG pada 2016 hingga 47.900 KLSP apabila semua proyek SPBG dan MRU selesai dibangun. Salah satu alasannya, BBG masih lebih hemat daripada BBM.

 

Lokasi Penempatan MRU Pertamina

MRU-001 SPBG  Pulogebang

(Sebelah kantor Walikota Jaktim)

MRU-002 SPBU COCO

Jl. Industri Kemayoran

MRU-003 Rest Area

Jalan Tol Cikampek Km 57

MRU-004 Lapangan Banteng

Depan Gedung Kemenkeu

MRU-005 Bandara Soekarno-Hatta
MRU-006 Mampang Prapatan

 

Dari segi harga, menggunakan BBG jauh lebih murah dibandingkan terus menerus bergantung pada BBM. Per liter BBG saat ini dihargai sebesar Rp 3.100 berbanding jauh dengan harga BBM jenis Premium yang mencapai Rp 7.600 per liternya. Di sisi lain, keuntungan tersebut hanya berpihak pada konsumen tapi tidak pada pengusaha terlebih pengusaha swasta yang ingin berinvestasi di sektor ini.

 

Ketua Asosiasi Perusahaan CNG Indonesia (APCNGI), Robbi Sukardi mengatakan investasi MRU dengan kapasitas 1.800 LSP menghabiskan dana hingga Rp 12 miliar. Konsumsi BBG yang masih di bawah target tidak mampu menutup ongkos produksi dan modal investasi. Itulah mengapa swasta enggan terlibat di investasi fasilitas SPBG ataupun MRU. Robbi mendorong pemerintah untuk menaikkan harga jual BBG. Dengan tingkat konsumsi yang masih kecil, harga jual BBG minimal Rp 4.500 per LSP.

 

Selanjutnya mendorong masyarakat untuk segera beralih ke gas. Namun usaha itu perlu dukungan pemerintah dengan memberikan bantuan kredit konverter kit. Satu set perangkat konverter kit dihargai Rp 27 juta. Konsumen bisa membeli perangkat konverter kit dengan skema mencicil selama 15 atau 30 bulan. Selama ini Robbi sendiri merupakan salah satu pemasok konverter kit yang memberikan kredit pada pemilik kendaraan.

 

Setiap kali mengisi, kendaraan mobil jenis sedan mampu menampung BBG maksimal 15 LSP. Jika dalam sehari terdapat 120 kendaraan yang melakukan pengisian, maka keberadaan satu unit MRU berkapasitas 1.800 LSP tidak akan mubazir. Dengan harga gas yang masih berpatok Rp 3.100 per LSP, nilai jual BBG yang didapat investor dalam sehari mencapai Rp 5.580.000

 

Jika nilai ini diakumulasikan, dalam satu tahun pendapatan satu unit MRU bisa mencapai Rp 20 miliar. Pendapatan itu sangat menguntungkan bila mempertimbangkan investasinya yang hanya Rp 12 miliar. “Kalau dalam sehari semua kapasitas BBG bisa terserap, justru bisnis ini sangat menggiurkan. Dengan harga Rp 3.100 sudah bisa menutup modal dan meraih margin jika semua BBG terserap,” ungkap Robbi.

 

Direktur Jenderal Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Wiratmaja Puja sepakat dengan Robbi. Ia mengapresiasi perusahaan nasional seperti Pertamina yang tetap berkomitmen untuk mendukung penggunaan BBG di kendaraan meskipun masih merugi. Ia menambahkan, saat ini pihaknya sedang menyusun rencana anggaran dan kerja di 2016 yang menyasar pada bantuan pengadaan konverter kit ke masyarakat.

 

Wirat yang pernah menjabat sebagai Ketua Tim Percepatan Konversi ke Gas mengatakan langkah itu sudah dimulai dengan mewajibkan mobil dinas pemerintah untuk memakai BBG. Dalam catatan Ditjen Migas sampai tahun ini jumlah kendaraan yang menggunakan BBG baru mencapai 8.000 unit. “Konverter kit memang selama ini jadi hambatan utama. Kami sedang tunggu revisi Perpres yang mengatur hal itu. Selain itu pemerintah juga mendorong pabrikan mobil untuk memproduksi mobil bahan bakar ganda, gas dan BBM,” ujar Wirat.

 

Salah satu pabrikan kendaraan yang mulai memproduksi mobil BBG adalah Tata Motors Ltd. Melalui anak usahanya, PT Tata Motors Distribusi Indonesia, produsen mobil asal India itu sudah melihat peluang ini. Mereka tampaknya serius mendukung konversi BBM ke gas di sektor transportasi. Pada Agustus lalu, Presiden Direktur PT Tata Motors Distribusi Indonesia, Biswadev Sengupta memperkenalkan produk mini pick up Tata Ace CNG dan Tata Iris CNG.

 

Kedua produk kendaraan itu, kata Biswadev cocok digunakan sebagai alat transportasi umum seperti angkutan kota (Angkot) dan pick up untuk kepentingan distribusi logistik. “Kami berkomitmen untuk memberikan solusi bagi Indonesia dengan kendaraan komersial kecil, kendaraan logistik kecil dan kendaraan angkut penumpang. Tak hanya itu, kami juga ingin menjadi bagian dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia.”