Jakarta, TAMBANG – Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yunus Saefulhak menegaskan larangan ekspor nikel belum berlaku. Hal ini berdasarkan Permen ESDM No. 11 tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM No.25 tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu bara. Beleid ini yang sampai saat ini masih tetap berlaku.
“Karena kalau kita dari sisi legalitas mengacu pada peraturan yang ada tentunya secara tugas dan fungsi adalah Kementerian ESDM yaitu dengan adanya Permen No. 11 tahun 2019,” Demikian Yunus pada acara diskusi publik kontroversi penghentian ekspor bijih nikel dan pembangunan smelter, di KAHMI Center, Rabu (6/11).
Lebih lanjut Yunus mengungkapkan pihaknya belum mendapat surat resmi dari BKPM terkait pembatasan ekspor yang sudah dilarang sejak pekan lalu.
“Saya dengarnya dari media belum ada statemen secara resmi dan secara surat formal yang dikeluarkan oleh BKPM kepada menteri kepada Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, ESDM, Menteri Perindustrian sehingga para menteri akan berkumpul dan melakukan koordinasi apakah betul-betul dipercepat lagi,” lanjut Yunus.
Dalam kesempatan yang sama, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) merasa paling dirugikan atas larangan ekspor nikel. Sekjen APNI, Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan kebijakan yang dikeluarkan oleh BKPM membuatnya repot.
Ia mempertanyakan kebijakan yang diputuskan oleh BKPM yang mengaku telah mendiskusikannya bersama dengan asosiasi nikel. Pada kenyataannya APNI tidak diundang untuk melakukan diskusi. Bahkan ESDM juga tidak dilibatkan.
“Ini kesepakatan pengusaha dan asosiasi. Yang kami tanya asosiasi mana, yang hadir asosiasi smelter. APNI tidak diundang. Dan tidak ada perusahaan IUP diundang,” ungkap Meidy.
Menurut Meidy larangan ekspor ini akan mematikan upaya untuk membangun smelter. Pasalnya, pembangunan smelter mengandalkan ekspor bijih nikel ke Cina lantaran pengusaha kesulitan untuk mendapatkan suntikan modal dari bank lokal.
Direktur Deregulasi Penanaman Modal BKPM Yuliot menjelaskan, pembatasan ekspor nikel oleh BKPM disebabkan data lonjakan ekspor ore nikel pada September 2019.
Berdasarkan catatan, ekspor ore nikel mencapai 100 juta ton di bulan September. Padahal rata-rata kuota ekspor yang diizinkan hanya 23 juta ton. Kemudian peningkatan ekspor itu berlanjut pada setelah pelantikan presiden pada Oktober 2019. BKPM juga menemukan 150 kapal yang siap untuk mengangkut ore nikel.
“Sebagian besar bahan baku diekspor jor-joran, dan diindikasikan ada kenaikan barang yang di ekspor pada bulan September tercatat di beberapa pelabuhan luar negeri,” ujarnya .
Menurut Yuliot Indonesia telah dirampok. Oleh karena itu BKPM memutuskan larangan ekspor bijih nikel agar bisa dimanfaatkan di dalam negeri dan memiliki nilai tambah. Yuliot mengungkapkan 70 persen ekspor bijih nikel Indonesia dikirim ke China.
“Cina sendiri sudah memiliki cadangan bahan baku untuk 1 tahun 2 tahun produksi. Ini sebagian besar dari Indonesia,” pungkasnya.