Lombok, TAMBANG – Perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di Meulaboh, Aceh Barat, PT Mifa Bersaudara berhasil memproduksi 6 juta ton batu bara pada Kuartal III tahun 2019. Direktur Mifa Ricky Nelson mengungkapkan, target produksi Mifa pada tahun 2019 sebanyak 8 juta ton. Produksi Mifa naik dibandingkan tahun lalu sebesar 5 juta ton.
“Kami optimis dapat mencapai target produksi meski pada Kuartal IV sudah memasuki bulan basah terus,” ungkap Ricky, Kamis (31/10).
Bahkan di tengah harga batu bara acuan (HBA) yang mengalami tren penurunan, Mifa tetap optimis dapat mencapai target produksi di tahun 2019.
Ricky mengungkapkan menggunakan strategi optimalisasi dalam menghadapi tantangan penurunan harga. Ia berharap langkah optimalisasi ini dapat menghasilkan volume yang lebih banyak.
“Dengan kekuatan yang sama atau jumlah alat operasi yang sama bisa menghasilkan volume yang lebih banyak, karena kan kadang optimalisasi itu bukan memeras keringat tapi lebih berhati-hati untuk mensinkronisasi,” lanjut Ricky.
Selain itu yang tidak kalah penting menurut Ricky adalah sinergi. Sinergi yang dilakukan oleh perusahaan dapat membuat keadaan perusahaan lebih baik karena dapat dengan cepat mengambil keputusan dan meminimalisir perdebatan.
Sinergi yang dilakukan oleh Mifa juga diterapkan dengan para kontraktor. Kontraktor diajak bersinergi untuk memahami permasalahan yang sedang terjadi dan melihat peluang-peluang yang ada.
Dari sisi pasar, Ricky mengungkapkan penjualan domestik pada tahun ini meningkat. Hal ini karena PLTU Nagan Raya yang berdekatan dengan Mifa akan memasok batu bara dari Mifa. Bahkan PLTU mulai menaikkan konsumsi batu bara domestik sebesar 40 persen.
“Hari ini tentu karena hanya Mifa yang berproduksi akhirnya Mifa yang akan suplay,” ungkap pria lulusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut.
Sejauh ini menurut Ricky tantangan terbesar yang dihadapi oleh Mifa adalah kondisi masyarakat Aceh yang belum menjadi masyarakat indistri. Industri di Aceh masih relatif baru, sehingga ada banyak kekhawatiran yang dirasakan oleh masyarakat.
Oleh karena itu Mifa giat memberikan informasi dan social education kepada masyarakat. Harapannya masyarakat dapat memahami kehadiran dan kegiatan tambang Mifa.
“Rasa khawatir timbul karena informasi yang tidak cukup ya. Kita pikir kalau masyarakat industri mereka akan terbiasa kan,” kata Ricky.
Selama ini Mifa telah melakukaan berbagai seminar untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Mifa bahkan mengumpulkan kepala desa, camat, dan kepala dinas untuk berdiskusi.
Ricky tidak menganggap masyarakat yang mengkritiknya sebagai penghalang, ia menganggap bahwa masyarakat kurang mendapatkan informasi. Oleh karena itu Ricky menganggap hal ini menjadi tanggung jawab perusahaan untuk memberikan informasi pada masyarakat.
“Itu bagian dari tanggung jawab sih. Karena kalau saya meyebutnya yang menghalangi tentu jadinya energi kita akan lebih banyak keluarnya karena kita merasa disakiti kan. Lebih baik kita melihatnya mereka butuh informasi yang lebih banyak,” ungkapnya.
Tantangan ini menurut Ricky menjadi sebuah perjalanan yang harus dihadapi oleh perusahaan. Hal ini merupakan bagian dari rencana jangka panjang perusahaan. Perusahaan akan tetap berjalan meski menerima kritik dari masyarakat dan menghadapi tren harga yang sedang turun.
“Jadi semangat optimis itulah yang kita lakukan, bahwa apa yang kita lakukan disana adalah suatu proyek besar, dan mungkin akan bernilai dan berjaya di generasi berikutnya,” kata Ricky.
Sebab menurut Ricky semua perusahaan tambang besar saat ini juga mengalami krisis yang sama pada awal operasi.
Program Corporate Social Responsibility
Penerapan program Corporate Social Responsibility (CSR) di wilayah pasca konflik memang membutuhkan ramuan khusus dan pendekatan mendalam. Hal ini perlu dilakukan agar produksi perusahaan berjalan lancar dan masyarakat terbantu dengan hadirnya perusahaan.
Produsen batu bara yang berdiri sejak tahun 2011 ini, harus menghadapi berbagai tantangan. Mulai dari geografis, sosial, ekonomi dan politik. Pada sisi lain, produksi sudah harus berjalan.
Seperti diketahui, Aceh adalah daerah istimewa dengan penerapan syariat Islam. Karena itu, program CSR yang dilakukan berkarakter syariat Islam. Program yang dilakukan oleh Mifa seperti program Mifa mengaji, safari subuh, safari Jum’at dan penyediaan khatib untuk shalat Jum’at. Mifa bahkan mengalokasikan dana CSR sebesar 1 persen dari keuntungan yang didapat.
“Jadi kita tidak merasa terbebani. Sebenarnya kan beban biaya ya, kan tidak berlaku di daerah daerah yang lain,” kata Ricky.
Terkait dengan persoalan sosial dan ekonomi, Mifa mendorong pemerintah setempat untuk membuat regulasi dan forum CSR setempat. Dengan adanya regulasi dan forum CSR tersebut, maka kontribusi Mifa dan beberapa perusahaan lain lintas sektor akan sangat besar terhadap daerah.
Pasca konflik, tsunami dan Otonomi Khusus (Otsus) kehadiran Mifa menjadi perhatian dan harapan masyarakat sekitar. Hampir 80 persen karyawan Mifa adalah orang lokal.
PT Mifa Bersaudara sudah berkomitmen sejak sebelum beroperasi akan menggunakan tenaga kerja lokal. Meski tidak ada Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki keahlian mengoperasikan alat berat namun Mifa memilih menggunakan tenaga kerja lokal.
Hal ini dilakukan Mifa agar mempercepat masyarakat Aceh yang non industri menjadi masyarakat industri. Selain itu masuknya tenaga kerja lokal juga agar masyarakat bisa ikut terlibat kegiatan perusahaan sehingga masyarakat mengetahui aktifitas yang di lakukan oleh perusahaan.
“Lebih baik kita bawa ke dalam, toh kita training, kita awasi. Malah mereka menjadi agen untuk speed up pada masyarakat non industri itu menjadi industri. Semacam motivasi yang luar biasa,” kata Ricky.
Komitmen yang dilakukan di awal kini membuahkan hasil, saat ini sudah banyak tenaga kerja lokal yang bisa mengoperasikan alat berat. Bahkan untuk mendukung komitmen tersebut Mifa mendonasikan alat berat ke SMK untuk digunakan sebagai sarana belajar.