Beranda Batubara Meski Rugi, PTBA Tetap Produksi Briket Batu Bara

Meski Rugi, PTBA Tetap Produksi Briket Batu Bara

Jakarta-TAMBANG. BUMN tambang batu bara, PT Bukit Asam (Persero) Tbk tetap melanjutkan operasi produksi olahan batu bara jadi briket meskipun mengalami kerugian. Direktur Niaga Bukit Asam, M Jamil mengakui sejak didirikan pada 1995 sebagai pelopor produsen briket batu bara, perusahaannya belum sekalipun meraup keuntungan.

 

Dalam enam tahun terakhir produksinya pun mengalami penurunan secara signifikan. Pada 2009, total produksi briket Bukit Asam mencapai 22.867 ton dengan serapan penjualan mencapai 22.182 ton. Sementara pada 2014 produksinya hanya 16.384 ton dengan serapan penjualan mencapai 15.623 ton.

 

Berkurangnya produksi, kata Jamil juga dipengaruhi tutupnya pabrik pengolahan briket di Gresik, Jawa Timur karena perubahan aturan tata ruang Pemda yang melarang penyimpanan batu bara di wilayah tersebut. “Pemda mengubah RTRW mereka sehingga kami tidak bisa lagi mengoperasikan stockpile di sana,” ujar Jamil kepada wartawan, Kamis (15/10).

 

Kerugian Bukit Asam dalam proyek briket ini mencapai rerata Rp 1 miliar per tahun. Meskipun merugi, Jamil mengatakan perusahaannya akan tetap meneruskan produksi briket batu bara karena memberikan keuntungan ekonomi secara nasional. Penggunaan briket batu bara oleh kalangan industrik kecil dan menengah mampu mengurangi konsumsi bahan bakar LPG subsidi dan minyak tanah.

 

Jamil menambahkan Bukit Asam baru akan menikmati margin keuntungan apabila produksi briket batu bara mereka melampaui angka 20.000. Target itu menurutnya akan sulit dicapai selama pemerintah masih memberikan subsidi pada konsumsi LPG. Pengurangan subsidi akan memaksa konsumen untuk mencari bahan bakar alternatif lain yang lebih murah dan menciptakan pasar bagi briket batu bara.

 

Konsumen briket produksi Bukit Asam masih didominasi industri peternakan ayam sebesar 84,93%. Sebaran pasar terbesar berada di wilayah Jabodetabek sebesar 27,61%.  Harga jual per kilonya mencapai Rp 1.500 untuk briket non karbonisasi dan Rp 2.500 untuk briket karbonisasi. Untuk memperluas pasar, Bukit Asam sudah mencoba mencari pasar di luar negeri dengan mengekspor ke Filipina namun kalah saing dengan briket asal Cina.

 

Butuh Dukungan Pemerintah

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI), Supriatna Suhala mengatakan pengembangan olahan batu bara menjadi briket membutuhkan dorongan kuat pemerintah. Kementerian ESDM harus berkoordinasi dengan instansi terkait untuk memolakan konsumsi briket sehingga mampu menciptakan pasar bagi pengusaha.

 

Meskipun sulit, pengembangan briket lebih logis dibandingkan pengolahan batu bara menjadi liquid (cair) yang ongkos produksinya lebih jauh lebih mahal. Produksi briket batu bara, kata Supriatna tidak memerlukan modal yang besar dan teknologi sederhana. Bahkan pengerjaannya bisa dilakukan oleh badan usaha di skala menengah.

 

Ia menuturkan pengembangan briket batu bara sebenarnya sudah dimulai sejak era Presiden Soeharto. Waktu itu pemerintah bahkan memberikan suntikan dana dari APBN bagi PT Bukit Asam yang ditugaskan khusus mengerjakan proyek ini. Namun pada 2008, proyek ini tak lagi jadi prioritas setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla lebih memilih melanjutkan program konversi minyak tanah ke gas.

 

Ketua Komisi VII DPR RI, Kardaya Warnika memaparkan saat ini program pengembangan briket memang tidak menarik lagi. Ia menganggap masyarakat sudah lebih nyaman menggunakan LPG setelah program konversi dilakukan. Memaksa masyarakat menggunakan briket kembali menurutnya merupakan suatu kemunduran.

 

Supriatna tidak setuju dengan pendapat Kardaya. Menurutnya pasca program konversi dari minyak ke gas, di daerah-daerah masih banyak warga yang tidak menggunakan LPG karena harganya yang terlalu mahal. Akibatnya mereka lebih memilih kembali memakai kayu bakar hasil menebang pohon di kawasan hutan.

 

“Di Kabupaten Majalengka hal seperti ini masih banyak ditemukan. Jika dibiarkan tentu tidak baik bagi kelestarian lingkungan,” ungkapnya.

 

Pengembangan briket batu bara menurutnya juga tidak untuk menggantikan LPG namun mengurangi konsumsi LPG khususnya LPG bersubsidi. Dorongan pemerintah pada akhirnya akan menciptakan konsumen briket, terutama di daerah-daerah yang distribusi LPG-nya masih sering terhambat. Selain itu pemanfaatannya secara tidak langsung akan mendorong tingkat penggunaan batu bara di dalam negeri yang targetnya mencapai 60%.

 

“Bagi saya briket masih bisa dibangkitkan dan memberikan kontribusi pada perekonomian negeri.

Harus ada penghitungan margin yang dibuat supaya jelas potensi keeekonomiannya,” tutupnya.