Jakarta-TAMBANG. Kebijakan hilirisasi mineral sejauh ini belum memberi manfaat sesuai yang diharapkan. Ini terjadi karena pembangunan smelter tidak berjalan sesuai rencana. Ada banyak faktor yang menjadi penyebab salah satunya karena masalah harga komoditi serta kondisi ekonomi global. Meski demikian hal ini tidak lantas membuat Pemerintah berubah sikap dan kembali mengizinkan ekspor mineral mentah. Pemerintah harus tetap konsisten melarang ekspor bijih serta mewajibkan Pelaku usaha untuk mengolah dalam negeri.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah mengatakan meski sampai sekarang belum memberi manfaat yang maksimal namun kebijakan hilirisasi harus terus didorong. Menurut pengamatan PWYP pelaksanaan kebijakan hilirisasi ini belum terlihat perkembangan yang signifikan kecuali penerbitan Permen dan rencana pembagian tugas dalam hal penerbitan izin pembangunan smelter antara Kementrian ESDM dan Kementrian Perindustrian.
“Yang harus dilakukan Pemerintah adalah membuat kebijakan yang lebih memberikan kepastian, melakukan koordinasi yang terintegrasi antar kementrian dan antar sektoral, membuat kebijakan yang terukur, serta konsisten dalam melakukan pemantauan,”kata Maryati Abdullah.
Meski demikian menurut Maryati kebijakan hilirisasi perlu dilaksanakan dan jangan ada relaksasi mineral dalam revisi UU Minerba karena akan mengancam pelestarian lingkungan. Jika diberi ruang untuk ekspor ore, maka pengusaha tambang akan mengeduk kekayaan mineral mentah secara besar-besaran tanpa memperhatikan pelestarian lingkungan. Kenyataan ini telah ditunjukkan pada saat pemerintah bakal menetapkan larangan ekspor mineral mentah pada awal 2014 lalu. Ekspor mineral mentah melonjak drastis dan kerusakan lingkungan di daerah tambang menjadi lebih parah.
“Revisi UU Minerba perlu memberikan penegasan kembali amanat hilirisasi tersebut, yang juga merupakan amanat hilirisasi tersebut yang merupakan bagian strategi utama dari Nawacita dan RPJMN terkait sektor unggulan berbasis SDA yang kompetitif, Berkelanjutan dan memberikan kesejahteraan,”tandasnya.
Pemerintah dan DPR menurutnya konsisten mendorong kebijakan pembangunan smelter dan larangan ekspor mineral mentah. Pemerintah dan masyarakat mendapat nilai tambah yang lebih besar untuk pertumbuhan ekonomi, masyarakat sekitar tambang tidak dirugikan karena lingkungannya rusak.
Sementara dari sisi lingkungan, Kebijakan ini perlu juga didukung oleh Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang mumpuni.
Sementara Witoro Soelarno menilai larangan ekspor bijih adalah konsekwensi dari kewajiban mengolah dan memurnikan ore sebagaimana diamanatkan UU Minerba. “Jadi Pemerintah harus terus mengawal amanat UU tersebut,”kata Witoro.
Ketika ditanya tentang dampak terhadap lingkungan Mantan Seditjen Minerba ini mengatakan bahwa pengaruh terhadap lingkungan tetap ada. “Para penambang yang didasari pertimbangan jangka pendek,mumpung masih ada waktu mengekspor ore memberi tekanan yang sangat besar terhadap lingkungan,”ujar Witoro.
Namun setelah ada kebijakan larangan ekspor diterapkan banyak lahan bekas tambang yang rusak dan mengandalkan alam untuk memulihkan dirinya. Oleh karenanya diperlukan juga penegakan hukum terhadap perusahaan tambang khusus terkait kewajiban pada lingkungan.
“Kewenangan sekarang ada di Pemerintah Propinsi dalam memberi izin dan pengawasan, jadi Pemerintah daerah juga harus berani menegakan aturan tersebut,”katanya lagi.
Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) memastikan, sebanyak 7 juta ton bijih nikel bakal terserap di 2017, menyusul beroperasinya sejumlah smelter nikel. Wakil Ketua AP31, Jonathan Handojo mengatakan, apabila dikalkulasi, jumlah itu setara dengan nilai ekspor Indonesia di tahun 2019.
saran : antar paragraf diberi jarak 2 spasi (enter) agar lebih enak dilihat dan dibaca
Terima kasih untuk masukannya Pak Arfan. Akan kami perhatikan.