Jakarta—TAMBANG. BERBAGAI suara muncul mendesak Presiden Joko Widodo agar menurunkan kembali harga bahan bakar minyak bersubsidi, yang bulan lalu dinaikkan pemerintah. Premium naik Rp 2.000 per liter menjadi Rp 8.500 per liter, adapun solar harganya juga naik, dari Rp 5.500 per liter menjadi Rp 7.500.
Kenaikan itu diniatkan untuk mengurangi beban subsidi yang dinilai terlalu banyak disangga APBN kita. Sekaligus untuk mengurangi penyelewengan. Dengan selisih harga yang jauh, antara BBM yang disubsidi dengan yang tidak, tanpa perlu bersusah payah seorang nelayan bisa mendapatkan duit banyak dengan berjualan minyak. Tidak perlu repot-repot mencari ikan.
Kenaikan harga minyak itu kini banyak disorot, karena harga minyak mentah dunia turun. Di masa lampau, tatkala konsumsi minyak Indonesia masih di bawah jumlah produksi, setiap kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia, Indonesia menikmati keuntungan.
Anda yang berusia di atas 50 tahun mungkin masih ingat, harga minyak pernah melonjak dari US$ 1,67 per barel menjadi US$ 11,70 per barel pada 1973. Kenaikan itu terjadi lantaran adanya ketegangan politik di Timur Tengah. Presiden Soeharto ketika itu langsung menaikkan gaji pegawai negeri, menciptakan banyak proyek seperti pembangunan jalan dan jembatan. Presiden Soeharto yang ketika itu baru enam tahun berkuasa, dipuji habis-habisan.
Oil boom terjadi lagi pada 1979-1980. Harga minyak yang telah mencapai US$ 15,65 per tong melonjak lagi menjadi US$ 35,00. Lagi-lagi Presiden Soeharto menaikkan gaji pegawai negeri. Satu tong = satu barel = 158,973 liter.
Kini, kenaikan harga BBM itu tak bisa kita nikmati dengan nyaman. Indonesia merupakan importir besar, bahkan mungkin terbesar di dunia. Bertambahnya harga minyak di pasar dunia, apalagi bila diimbangi dengan kurs rupiah yang lemah terhadap dolar, akan membuat beban APBN makin berat. Di masa lalu, Indonesia bisa memproduksi minyak 1,6 juta barel per hari, dan konsumsinya hanya 800.000 barel. Kini yang terjadi adalah kebalikannya.
Hampir sebulan setelah kenaikan harga BBM itu, kini harga minyak turun, bahkan pernah hampir menembus angka US$ 60. Namun, sebagaimana kita ketahui, harga minyak merupakan sebuah siklus. Hari ini memang turun. Tapi apakah besok harganya akan serendah sekarang? Berbagai media di luar negeri malah sudah mengingatkan, rendahnya harga minyak hanya terjadi sementara.
Faktanya kita memang harus berhati-hati. Kamis kemarin, harga minyak kembali merembet naik. Harga minyak West Texas Intermediate untuk penyerahan Januari naik 44 sen menjadi US$ 61,38. Minyak dari Laut Utara, Brent, naik 40 sen menjadi US$ 64,64.
Harga minyak telah anjlok 40% dibanding titik puncaknya pada Juni 2014, sebagai akibat perlambatan perekonomian di Cina dan di negara-negara yang ekonominya tengah tumbuh. Berbagai faktor, mulai dari resesi ekonomi di Jepang, ekonomi di Uni Eropa yang tak kunjung membaik, serta keengganan OPEC untuk memangkas produksi minyaknya, bahu-membahu membawa makin rendahnya harga minyak.
OPEC merupakan perkumpulan negara-negara pengekspor minyak, yang dibentuk untuk menstabilkan harga minyak. Seusai pertemuan menteri perminyakan anggotanya di Jenewa, 27 November lalu, OPEC membuat pernyataan yang intinya tetap mempertahankan produksi minyak pada tingkat 30 juta barel per hari. OPEC memasok sekitar 40% produksi minyak dunia. Keputusan OPEC itu kontan membuat harga minyak turun.
Sulit untuk memprediksi kapankah harga minyak kembali naik, mencapai harga Juni 2014. Sulit untuk meramalkan pergerakan harga minyak, mengingat begitu kompleksnya variabel yang melingkupinya.
Sebagaimana kita pahami bersama, pasokan, permintaan, serta geopolitik adalah faktor-faktor yang menjelaskan mengapa harga minyak naik dan turun. Produksi yang naik cukup tinggi di Amerika Utara, pelemahan ekonomi di Eropa dan Asia, semua berpengaruh terhadap hrga minyak.
Tetapi itu tidak seluruhnya. Harga minyak juga dipengaruhi oleh kurs dolar terhadap mata uang lainnya. Sebagaimana kita ketahui, harga minyak ditetapkan dalam dolar. Artinya situasi kurs dolar terhadap mata uang lainnya akan ikut mempengaruhi harga minyak di dalam negeri.
Di luar itu, ada persoalan spekulasi, dan mungkin juga permainan para pemburu rente yang ikut berlaga.
Sumber foto: arabiangazette.com